Selasa 02 Jul 2024 11:07 WIB

Lima Miliar Orang Dilanda Panas Ekstrem Sepanjang Juni

Perubahan iklim mengakibatkan cuaca panas tidak biasa semakin sering terjadi.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Seorang warga Cina menggunakan masker muka dan payung di tengah cuaca panas, di Beijing, Ahad (16/6/2024).
Foto: AP Photo/Andy Wong
Seorang warga Cina menggunakan masker muka dan payung di tengah cuaca panas, di Beijing, Ahad (16/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, PRINCETON -- Kelompok ilmuwan independen yang berbasis di Amerika Serikat (AS) Climate Central dalam laporannya mengungkapkan hampir lima miliar orang di seluruh dunia, termasuk 231 juta orang di Indonesia, mengalami panas ekstrem selama sembilan hari pada bulan Juni.

Para ilmuwan mengatakan perubahan iklim mengakibatkan cuaca panas tidak biasa semakin sering terjadi.

Climate Central mengatakan, panas terik pada bulan Juni berdampak pada 619 juta orang di India, 579 juta di Cina, 231 juta di Indonesia, 206 juta di Nigeria, 176 juta di Brasil, 171 juta di Bangladesh, 165 juta di Amerika Serikat, 152 juta di Eropa, 123 juta di Meksiko, 121 juta di Ethiopia dan 103 juta di Mesir.

"Dari 16 sampai 24 Juni lebih dari 60 persen populasi dunia mengalami panas ekstrem yang setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim," kata laporan tersebut seperti dikutip dari NDTV World, Selasa (2/7/2024).

Kepala program di Climate Central Andrew Pershing mengatakan, pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas alam selama satu abad terakhir membuat bumi semakin berbahaya. Ia menambahkan gelombang panas di seluruh dunia pada musim panas tahun ini merupakan bencana yang tidak wajar. "(Bencana ini) akan menjadi lebih sering terjadi sampai polusi karbon berhenti," katanya.  

Climate Shift Index (CSI) dari Climate Central menentukan pengaruh perubahan iklim terhadap suhu di seluruh dunia. Laporan Climate Central mengungkapkan antara tanggal 16 sampai 24 Juni, 4,97 miliar orang mengalami panas ekstrem setidaknya tingkat 3 CSI.

"Ini mengindikasikan perubahan iklim membuat suhu panas setidaknya tiga kali lebih mungkin terjadi," kata laporan tersebut.

India yang mengalami salah satu gelombang panas terpanas dan terpanjang, mencatat lebih dari 40 ribu kasus heat stroke dan lebih dari 100 kematian akibat panas. Panas yang sangat tinggi membuat sistem pasokan air dan jaringan listrik kewalahan, dan Delhi mengalami krisis air yang parah.

Menurut Departemen Meteorologi India, sekitar 40 persen wilayah dari negara itu mencatat hari-hari gelombang panas yang biasa terjadi dari bulan April sampai Juni bertambah dua kali lipat.

Di beberapa daerah di Rajasthan, suhu mencapai 50 derajat Celsius dengan suhu malam hari berkisar sekitar 35 derajat Celsius.

Media-media setempat melaporkan terdapat 60  kematian terkait panas di New Delhi. Sejak 13 Mei, kota itu mengalami 40 hari berturut-turut suhu di atas 40 derajat Celcius.

Di Arab Saudi, setidaknya 1.300 orang meninggal akibat penyakit yang berhubungan dengan panas selama ibadah haji. Suhu udara sangat tinggi, dengan beberapa kota mencapai 50 derajat Celcius.  

Analisis Climate Central menemukan perubahan iklim meningkatkan suhu Kota Makkah setidaknya tiga kali lipat setiap harinya sejak 18 Mei, dan lima kali lipat sejak 24 Mei.  

Analisis kelompok ilmuwan iklim yang didanai Uni Eropa, Climameter menemukan perubahan iklim membuat gelombang panas di Arab Saudi menjadi lebih panas hingga 2,5 derajat Celcius.

Di Meksiko, setidaknya 125 orang meninggal dunia, dengan suhu mencapai 52 derajat Celcius di negara bagian Sonora pada 21 Juni.

Penelitian kelompok ilmuwan lainnya yang tergabung dalam World Weather Attribution menemukan perubahan iklim membuat cuaca panas ekstrem pada bulan Mei dan Juni 35 kali lebih mungkin terjadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement