Rabu 03 Jul 2024 06:45 WIB

Waspada Kekeringan! Indonesia Mulai Masuki Puncak Musim Kemarau

Ada 31,2 persen zona musim yang akan mengalami puncak musim kemarau pada Juli.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Bocah membawa jeriken untuk diisi air saat penyaluran bantuan air bersih di Desa Bontoparang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Kamis (2/11/2023).
Foto: ANTARA FOTO/Arnas Padda
Bocah membawa jeriken untuk diisi air saat penyaluran bantuan air bersih di Desa Bontoparang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Kamis (2/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi puncak musim kemarau di Indonesia terjadi pada Juli-Agustus. Akan tetapi, puncak musim kemarau di setiap zona musim berbeda-beda.

Zona musim adalah daerah yang pola hujan rata-ratanya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim kemarau dan periode musim hujan. "Hasil prediksi musim kemarau menunjukkan bahwa sebagian besar zona musim akan mengalami puncak musim kemarau pada Juli-Agustus 2024," kata Deputi Bidang Klimatologi Ardhasena Sopaheluwakan dalam pernyataannya yang diterima Republika, Selasa (2/7/2024).

Baca Juga

Ia menambahkan, secara lebih terperinci ada 31,2 persen zona musim yang akan mengalami puncak musim kemarau pada Juli dan ada 45,6 persen yang akan mengalami puncak musim kemarau pada Agustus. "Sisanya ada yang mengalami puncak musim kemarau pada Mei, Juni dan September," katanya.

Ilmuwan mengatakan perubahan iklim mempengaruhi curah hujan.  Seiring memanasnya bumi ini, atmosfer dapat menahan lebih banyak uap air. Peningkatan kapasitas ini menyebabkan peristiwa curah hujan yang lebih intens seperti hujan lebat dan badai salju di beberapa daerah.

"Hasil kajian memang menunjukkan bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan peningkatan intensitas hujan ekstrem pada skala harian," kata Ardhasena.

"Pada skala musiman, perubahan yang teridentifikasi adalah meningkatnya jumlah hari jeda hujan (dry spell) di musim kemarau yang menegaskan kecenderungan musim kemarau semakin kering."

Akan tetapi, kata dia, harus dipahami bahwa respons hujan terhadap perubahan iklim tidak seragam antar lokasi sebagai akibat dari tingginya spatial variability dari parameter hujan.

Para ilmuwan mengatakan dampak perubahan iklim pada curah hujan tidak seragam. Beberapa wilayah, terutama yang jauh dari jalur badai, mungkin mengalami lebih sedikit curah hujan dan kekeringan yang meningkat. Suhu yang lebih hangat juga dapat menyebabkan lebih banyak penguapan, sehingga tanah menjadi kering.

Oleh karena itu, wilayah jalur badai berisiko mengalami banjir. Sementara daerah luar jalur badai dapat mengalami kekeringan.

Secara keseluruhan, perubahan iklim diperkirakan akan mengintensifkan siklus air global. Ini berarti lebih banyak penguapan dari lautan dan permukaan tanah, yang mengarah pada peristiwa curah hujan yang lebih ekstrem di satu sisi dan kekeringan di sisi lain.

Perubahan iklim merupakan faktor utama yang mengganggu pola curah hujan, membuat beberapa daerah lebih basah dan yang lainnya lebih kering. Ini memiliki konsekuensi yang signifikan untuk pertanian, sumber daya air, dan bencana alam. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement