Senin 08 Jul 2024 14:39 WIB

Akademisi: Aturan CCS Harus Mampu Tangkap Peluang Ekonomi

Kementerian ESDM perlu memetakan wilayah kerja migas yang sudah tidak optimal.

Red: Satria K Yudha
Co2 atau karbon dioksida (ilustrasi).
Foto: Dok. Freepik
Co2 atau karbon dioksida (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Parulian Paidi Aritonang meminta pemerintah mewadahi kepentingan yang lebih luas terkait dengan aturan carbon capture storage (CCS). Hal ini penting guna menangkap peluang ekonomi, terutama sektor ketenagalistrikan.

"Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi permintaan listrik yang terus meningkat sambil mengurangi jejak karbon. Pemerintah juga harus menjaga agar harga listrik tetap terjangkau bagi konsumen dan dunia usaha," ujarnya di Jakarta, Senin (8/7/2024).

Baca Juga

Hal itu dikatakannya menyusul terbitnya dua regulasi penting terkait CCS, yaitu Perpres No 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon serta Permen ESDM No 2/2023 tentang Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Menurut dia, teknologi CCS memiliki potensi tidak hanya untuk menyimpan emisi karbon dari pembangkit listrik tetapi juga untuk mendukung percepatan transisi energi di tanah air.

Sementara itu, Expert Advisor PT ESSA Haposan Napitupulu menyatakan bahwa implementasi CCS pada bisnis hulu migas tidak mengalami kendala karena biayanya sudah diakomodasi dalam cost recovery. "Namun, ini berbeda dengan sektor hilir seperti ketenagalistrikan, industri, dan transportasi yang tidak memiliki mekanisme cost recovery," katanya dalam focus group discusion (FGD) bertajuk "Pemanfaatan Teknologi CCS".

Menurutnya, Kementerian ESDM perlu memetakan wilayah kerja migas yang sudah tidak optimal atau depleted reservoir dan membuka data fasilitas permukaan bagi penghasil karbon untuk dimanfaatkan sebagai penyimpanan karbon yang dihasilkan industri hilir.

Saat ini, tambahnya, belum ada landasan hukum khusus yang mengatur mekanisme pelaksanaan CCS di sektor ketenagalistrikan. Peraturan yang ada, seperti Perpres No 14/2024, hanya mengatur skema penyelenggaraan CCS di sektor hulu.

Oleh karena itu, lanjutnya, diperlukan regulasi khusus untuk penanganan emisi CO2 dengan pemanfaatan teknologi CCS di sektor ketenagalistrikan agar tidak berdampak pada peningkatan BPP.

Sementara itu, Asisten Deputi Energi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi RI Ridha Yasser menjelaskan bahwa implementasi CCS di berbagai sektor memegang peranan penting dalam upaya mengurangi emisi karbon dunia.

"Saat ini, pemerintah terus berupaya menyediakan regulasi menyeluruh untuk implementasinya di lapangan. CCS akan diimplementasikan aturannya, dan ini dalam rangka kita bersaing dengan negara lain untuk mendapatkan peluang penerapan skema karbon sebagai agenda global," ujarnya.

Ketua Asosiasi Praktisi Hukum Migas dan EBT Didi Setyadi menekankan pentingnya memanfaatkan reservoir karbon yang dimiliki Indonesia untuk kepentingan dalam negeri.

"Kita harus mengikuti, mengadopsi, menerapkan teknologi yang baru itu. Kan di situ harus menambahkan biaya. Nah apakah biaya ini kemudian ekonomis atau tidak ekonomis dibandingkan dengan harga jual listriknya sendiri. Nah itu kan yang jadi persoalan," katanya.

Menanggapi hal itu, Senior Executive Vice President Hukum, Kebijakan, dan Kepatuhan PT PLN (Persero) Nurlely Aman menyatakan komitmen PLN untuk mendukung penerapan teknologi CCS di sektor ketenagalistrikan Indonesia.

Namun, ia mengingatkan perlunya memperhatikan implikasi finansial bagi pihak yang bukan pengelola minyak dan gas. Menurut dia, monetisasi depleted well/reservoir yang tidak dimanfaatkan harus dioptimalkan dan regulasi terkait CCS harus ditempatkan dengan tepat, apakah sebagai instrumen penurunan emisi atau tambahan pendapatan negara.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement