REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menilai ada sederet masalah dalam proses formil maupun substansi revisi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) yang baru saja disahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (10/7/2023). Menurut Greenpeace Indonesia, proses pembahasan rancangan perubahan UU KSDAHE sangat minim pelibatan masyarakat.
“Pembahasan rancangan UU KSDAHE tak berjalan transparan. Sejumlah organisasi masyarakat sipil kesulitan untuk memonitor prosesnya," ” kata Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia dalam siaran pers Kamis (11/7/2024).
Sekar mengatakan, pemerintah dan DPR mengabaikan partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU KSDAHE. Greenpeace mengatakan secara substansi UU KSDAHE juga bermasalah.
Undang-Undang Konservasi ini dinilai masih menggunakan paradigma lama yang mengeksklusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam perlindungan ekosistem. Greenpeace mengatakan pemerintah dan DPR tak mengakomodasi usulan masyarakat sipil agar memastikan adanya pengakuan, partisipasi, dan perlindungan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam UU KSDAHE.
Greenpeace mengatakan walaupun ada pasal yang menyebut peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat, proses itu tampaknya hanya dipandang sebagai formalitas belaka. Proses penetapan kawasan konservasi dalam UU KSDAHE bersifat sangat sentralistik karena berada di bawah kewenangan pemerintah pusat.
Hal ini, menurut Greenpeace, amat berpotensi memicu konflik dengan masyarakat setempat yang kehilangan ruang hidup dan tempat beraktivitas. Greenpeace mengatakan watak sentralistik ini diperparah dengan pasal-pasal sanksi pidana dalam UU KSDAHE terhadap perorangan, yang berpotensi menambah deret panjang kriminalisasi warga.
Greenpeace mengatakan, prinsip konservasi seharusnya mengacu pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) yang diratifikasi Pemerintah Indonesia dalam UU Nomor 5 Tahun 1994. Konvensi ini mengatur negara untuk mengakui ketergantungan yang erat dan berciri tradisional sejumlah masyarakat asli dan masyarakat setempat, yang berkaitan dengan konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Greenpeace menambahkan, poin bermasalah lainnya dalam UU KSDAHE adalah pemanfaatan jasa lingkungan untuk beberapa hal, seperti panas bumi dan karbon. Ini jelas kontradiktif dengan tujuan konservasi sumber daya alam demi menyelamatkan keanekaragaman hayati tersisa.
Organisasi lingkungan itu mengatakan sistem operasional ekstraksi panas bumi sangat berisiko, berpotensi mencemari dan merusak lingkungan, dan mengganggu ekosistem dalam area hutan.
“Pembangkit terbarukan skala besar, termasuk hidro dan geotermal, membutuhkan pengawasan yang jauh lebih ketat mengenai analisis risiko dan dampak sosial, ekonomi serta lingkungannya," kata Hadi Priyanto, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Ia mengatakan, pembangunan pembangkit panas bumi yang berada di kawasan taman nasional, hutan lindung, dan masyarakat adat, berpotensi besar menimbulkan konflik sosial, sehingga membawa dampak yang jauh lebih besar daripada manfaatnya. "Padahal transisi ke energi terbarukan harus memastikan aspek keadilan dan keberlanjutan,” tambah Hadi.
Greenpeace mengatakan pemanfaatan jasa lingkungan berupa karbon jelas mengindikasikan niat pemerintah berbisnis karbon. Ini memungkinkan perusahaan pencemar lingkungan melakukan praktik greenwashing dengan menggunakan uangnya untuk bisnis konservasi.
Menurut Greenpeace, UU KSDAHE juga tak akan cukup untuk mencapai target 30×30 guna melindungi setidaknya 30 persen daratan dan 30 persen lautan pada 2030, yang telah disepakati dalam Kerangka Kerja Biodiversitas Kunming-Montreal 2022.
Apalagi, tambahnya, substansi UU KSDAHE juga masih cenderung bias darat, misalnya dalam pengaturan tentang area preservasi yang tidak memasukkan pelestarian di area laut. Padahal hingga 2020, lebih dari 54 persen kawasan hutan sudah merupakan kawasan lindung, tapi baru 8,7 persen kawasan penting laut yang dilindungi secara hukum.
Pemerintah Indonesia berencana menambah luasan kawasan lindung laut hingga 32,5 juta hektare pada 2030 dan secara bertahap menjadi 30 persen di tahun 2045.
“Kita menghadapi ancaman krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, tapi pemerintah dan DPR masih saja bermain-main dengan komitmen perlindungan lingkungan yang sifatnya semu,” kata Sekar.