REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) menargetkan penambahan stasiun pengisian bahan bakar (SPBU) hidrogen untuk memfasilitasi para pengguna kendaraan berbahan bakar hidrogen di Indonesia. Namun, Vice President Sustainability Program, Rating & Engagement Pertamina Indira Pratyaksa meminta dukungan pemerintah untuk terlebih dahulu menciptakan pasar kendaraan berbahan bakar hidrogen yang lebih luas.
"Kami akan meminta dukungan pemerintah untuk menyediakan pasar, yang mana produksi dari kendaraan-kendaraan yang menggunakan hidrogen masif dilakukan," ujarnya saat ditemui setelah menjadi pembicara dalam Katadata SAFE 2024 di Jakarta, Rabu (7/8/2024).
Ia menjelaskan pembangunan SPBU hidrogen akan dilakukan bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Sebagai upaya optimalisasi aset, Pertamina juga berkomitmen memanfaatkan aset yang sudah ada dengan melakukan konversi SPBU konvensional menjadi hidrogen, sehingga investasi pembangunan infrastruktur baru dapat diminimalisir.
Pembangunan SPBU hidrogen merupakan salah satu upaya Pertamina dalam mencapai target keberlanjutan sebagai bagian dari upaya mendukung dekarbonisasi. Pertamina bersama Toyota sebelumnya telah meluncurkan proyek percobaan pengembangan SPBU hidrogen di kawasan Daan Mogot, Jakarta. Namun, Indira menyebut jumlah konsumennya masih sangat kecil.
"Konsumen yang datang ke sini (SPBU hidrogen) hanya 0,0 sekian persen dari seluruh penduduk di Jakarta," tuturnya.
Indira mengakui bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mendorong penggunaan energi baru terbarukan (EBT) adalah soal keterjangkauan dan aksesibilitas. Hal itu terutama terlihat pada sektor kendaraan listrik, yang mana minimnya jumlah stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) menjadi salah satu alasan masyarakat ragu beralih dari kendaraan berbahan bakar fosil.
Oleh karena itu, Pertamina berkomitmen untuk terus menjaga keberlanjutan bisnis bahan bakar fosil guna memastikan keterjangkauan, ketahanan, dan aksesibilitas energi bagi masyarakat. Langkah itu dinilai perlu dikarenakan permintaan energi fosil di dalam negeri masih tinggi dan transisi energi membutuhkan waktu yang cukup lama.