REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Hutan pegunungan di daerah terpencil di Afrika kerap berawan, basah, dingin dan kaya keanekaragaman hayati. Hutan-hutan itu berfungsi sebagai menara air yang memerangkap air dari kabut dan awan, menyediakan air tawar berkualitas bagi jutaan orang di dataran rendah di Afrika.
Namun, dalam dua dekade terakhir, 18 persen hutan pegunungan Afrika hilang akibat deforestasi, sehingga perubahan iklim meningkatkan permukaan awan dan suhu hutan dua kali lipat. Penelitian menemukan suhu udara di hutan-hutan itu naik 1,4 derajat Celsius, sementara ketinggian awan naik 230 meter selama 20 tahun terakhir.
"Hal ini berdampak besar pada sumber daya air dan keanekaragaman hayati," kata profesor University of Marburg Dirk Zeuss mengenai penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications itu, seperti dikutip dari Science Daily, Selasa (21/8/2024).
Direktur Taita Research Station, Profesor Petri Pellikka mengatakan, kenaikan ketinggian awan mengurangi jumlah air karena ketika awan menyentuh tajuk hutan, kabut di mana air berada tersimpan di tanah dan permukaan tanah. Apabila awan lebih tinggi, hal itu tidak terjadi.
Fenomena ini juga mengharuskan puncak pegunungan berhutan karena hutan meningkatkan luas tutupan lahan. Hutan juga menyimpan air lebih banyak di pohon-pohon dan permukaan tanahnya dibandingkan lahan terbuka.
Penelitian dilakukan di dataran tinggi Kenya, Tanzania, Ethiopia dan Afrika Selatan. Penelitian ini dilakukan Taita Research Station yang dikelola University of Helsinki di Kenya sejak 2009.
Kontribusi Universitas Helsinki untuk penelitian ini berasal dari Laboratorium Pengamatan Perubahan Bumi di Departemen Geosains dan Geografi. “Dalam penelitian kami di Taita Hills, setiap tahun kami mengukur puncak gunung yang berhutan, menjatuhkan 20 persen lebih banyak air ke tanah dibandingkan dengan area terbuka," kata Pellika.
Ia menjelaskan hal ini disebabkan kabut yang mengendap di pepohonan meneteskan air ke tanah sebagai tetesan. Tetesan merupakan tambahan air dari curah hujan. "Jika awan tetap lebih tinggi dan tidak menyentuh hutan, fenomena ini tidak terjadi lagi,” kata Pellikka.
Banyak puncak gunung kecil berhutan yang tersisa di Perbukitan Taita. Menara air yang paling penting terletak di Kenya termasuk Gunung Kenya, Hutan Mau, Pegunungan Aberdare, Gunung Elgon, Perbukitan Cherangani, dan Gunung Kilimanjaro. Meskipun Gunung Kilimanjaro terletak di Tanzania, gunung ini juga menyediakan air ke sisi Kenya.
“Di sekitar gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro di Tanzania, 50 persen hutan telah hilang sejak tahun 1880,” kata Dr. Andreas Hemp dari Universitas Bayreuth mengenai penelitian itu.
Hemp telah melakukan penelitian di Kilimanjaro selama 30 tahun. Penelitian Taita Research Station juga menemukan hubungan negatif antara kenaikan suhu dan ketinggian awan. Jadi, naiknya permukaan awan dapat mengurangi dampak pemanasan akibat deforestasi.
Meskipun demikian, deforestasi skala besar yang didefinisikan hilangnya tutupan pohon melebihi 70 persen di area seluas 1 km x 1 km dapat mengimbangi efek pendinginan dari kenaikan permukaan awan. Sebab, naiknya permukaan awan dan pemanasan suhu yang sebanding dapat terjadi di hutan-hutan pegunungan Afrika yang lebih tinggi.
“Hasil penelitian ini menyerukan tindakan segera karena deforestasi pegunungan yang disebabkan oleh perluasan lahan pertanian dan penebangan menimbulkan ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati dan layanan ekosistem, seperti pasokan air di Afrika,” kata ilmuwan tamu University of Helsinki dan peneliti pascadoktoral di Philipps University of Marburg di Jerman, Temesgen Abera.
Penelitian ini menggunakan data pengamatan satelit, data analisis ulang, serta pembelajaran ensembel, metode empiris, dan pengukuran suhu in-situ dan ketinggian dasar awan secara independen untuk validasi.
Kelompok penelitian ini terdiri dari para ilmuwan dari Universitas Helsinki, Universitas Marburg dan Universitas Bayreuth di Jerman, Institut Meteorologi Finlandia, Universitas Addis Abeba di Ethiopia, dan Universitas North-West di Afrika Selatan. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek ESSA (Pengamatan bumi dan penginderaan lingkungan untuk transformasi ekosistem agropastoral berkelanjutan yang cerdas iklim di Afrika Timur) yang didanai oleh Komisi Eropa.