Oleh : DR I Wayan Sudirta, SH, MH anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP
Akan tetapi anehnya, DPR kemudian malah merespons dengan sangat cepat dalam melanjutkan pembahasan terhadap RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Hal ini boleh dianggap biasa saja, jikalau isi pasalnya tidak bertentangan dengan Putusan MK. Namun tidak jika isinya justru kontroversial.
Dalam perjalanan pembahasannya, kemudian diketahui oleh publik bahwa prosedur dan substansinya berpotensi bermasalah. Padahal selama ini DPR, Pemerintah, maupun seluruh pihak selalu menghormati Putusan MK karena dianggap sebagai “wakil” dari Konstitusi, apalagi putusannya bersifat final dan mengikat.
Selain itu, pascaputusan MK, DPR dan Pemerintah kini seharusnya sudah lebih berhati-hati. Dalam hal ini, kita selanjutnya dapat bertanya menganalisa lebih jauh terhadap pelaksanaan asas kepatuhan dan kepatutan (due process of law) ini dari implikasi Putusan MK ini. Apa yang menjadi penyebab dari polemik ini.
Pengujian Undang-Undang di MK telah diatur dalam UUD NRI 1945, pengujian konstitusionalitas ini merupakan sebuah ujian undang-undang terhadap kesesuaiannya dengan UUD. Hal ini telah diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan merupakan kewenangan MK.