Kamis 22 Aug 2024 09:07 WIB

Kedudukan Putusan MK dalam Pembahasan RUU tentang Pilkada

Putusan MK padahal bersifat final dan mengikat

Red: Nashih Nashrullah
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024). Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay dan pegiat kepemiluan Titi Anggraini menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu perihal ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menguji konstitusionalitas pasal tersebut karena dianggap tidak memberikan keadilan bagi partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di parlemen.
Foto:

Oleh : DR I Wayan Sudirta, SH, MH anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP

Ketentuan ini selanjutnya akan menjadi cermin kehidupan demokrasi dan penyelenggaraan otonomi daerah yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

Masyarakat tentu berharap bahwa ketentuan dalam RUU Pilkada tidak kemudian “dipolitisasi” untuk kepentingan tertentu yang nantinya justru merugikan masyarakat, terutama dalam memilih calon pemimpinnya. Masyarakat harus diberi keleluasaan dalam memilih dan diberi pilihan yang tepat dalam format kebebasan dalam hak politik yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan ketentuan perundang-undangan.

Lebih jauh lagi tidak boleh sebuah undang-undang atau ketentuan dibuat secara parsial atau untuk menguntungkan salah satu pihak, apalagi hanya menjadi bentuk “perlawanan” terhadap supremasi hukum.

Falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945 yang mendasari aturan perundang-undangan telah menjamin bahwa lembaga yudikatif dijalankan secara independen. Bentuk penghormatannya, tentu seluruh pihak harus menghormati dan menjalankan putusan tersebut seperti ketentuan atau undang-undang yang mengikat.