Senin 26 Aug 2024 16:06 WIB

Voucher Makan di Sekolah, Dapur Umum, dan Usaha Rakyat

Bantuan yang paling bebas sesuai dengan selera dan kebutuhan adalah uang.

Anak menunjukan menu makan siang gratis yang dibagikan Yayasan Damaris Pancasila Indonesia di kawasan Kemayoran, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Program makan siang gratis tersebut sudah berlangsung selama 4 tahun dengan didanai oleh donatur kepada Yayasan Damaris Pancasila Indonesia. Dalam sehari mereka menyediakan sebanyak 400 porsi yang dibagikan dijalanan setiap hari di beberapa daerah di Jakarta, Bekasi, hingga Depok.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Anak menunjukan menu makan siang gratis yang dibagikan Yayasan Damaris Pancasila Indonesia di kawasan Kemayoran, Jakarta, Rabu (21/8/2024). Program makan siang gratis tersebut sudah berlangsung selama 4 tahun dengan didanai oleh donatur kepada Yayasan Damaris Pancasila Indonesia. Dalam sehari mereka menyediakan sebanyak 400 porsi yang dibagikan dijalanan setiap hari di beberapa daerah di Jakarta, Bekasi, hingga Depok.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Bambang Setiaji, Guru Besar Ilmu Ekonomi Ketenaga Kerjaan/Ketua Majelis Dikti PP Muhammadiyah

Ada diskusi dan riset menarik yang menguji  apakah bantuan kepada masyarakat lebih baik berupa barang, voucher, atau uang. Dalam kesempatan ini ada baiknya didiskusikan untuk masalah makan siang di sekolah. Dari ketiga cara, yaitu barang, uang, atau voucher, sumbangan negara kepada masyarakat melalui makan siang di sekolah, mana yang lebih efisien, efektif, dan aman dari resiko penyimpangan, serta perlu dilihat dampaknya terhadap ekonomi masyarakat, khususnya warung warung sekitar sekolah.

Bahwa bantuan yang paling bebas dalam arti penggunaannya sesuai dengan selera dan kebutuhan masyarakat adalah bantuan uang. Belum tentu masyarakat kekurangan pangan, mungkin saat itu perlu membeli genting yang bocor.

Akan tetapi bantuan uang untuk masyarakat kita, sangat rawan berbelok jauh dari tujuan penggunaan, dalam hal ini untuk mengatasi masalah gizi anak pada masa pertumbuhan. Alasannya kareana dalam masyrakat patriakal bantuan pangan bisa berubah menjadi konsumsi rokok orang tuanya dan tidak menutup kemungkinan untuk membeli rokok untuk diri siswa sendiri.

Jumlah perokok kita menembus 70 juta orang atau hampir setengah dari jumlah penduduk laki laki. Sekitar 27 persen perokok dimulai pada umur 10 sampai 14 tahun bahkan ada yang kurang dari usia 10 tahun, dan sisanya 73 persen memulai merokok saat umur 15 tahun atau lebih. Ini berarti merokok dimulai pada saat kelas 3 sekolah dasar atau umumnya pada saat SMP atau SMA (https// sehatnegeriku.kemkes.go.id).

Dengan melihat sifat aditif merokok maka bantuan uang tunai mungkin belum tepat untuk diberikan kepada siswa. Bahkan juga bantuan pangan lainnya untuk keluarganya.

Bantuan Barang

Sebaliknya, bantuan barang, seperti yang kita saksiskan dalam sistem kenegaraan kita juga sangat rawan. Kelemahan bantuan barang yang pertama, organisasinya rumit.

Untuk membagi masakan siang ini mungkin diperlukan suatu badan yang cukup gemuk. Lebih lebih proyek ini jauh sampai pelosok pedesaan yang bahkan menjadi target program.

Kedua, bantuan berupa barang tentu harus menunjuk katering, ya memang hal ini akan membuka usaha baru bagi anak anak muda, namun perlu diingat di sekitar sekolah sudah terdapat warung warung murah. Akan terjadi crowding out, setiap pemerintah melakukan investasi, atau suatau layanan, maka aktifitas masyarakat yang sama akan mati.

Bantuan paling efektif adalah voucher, karena...

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement