Selasa 27 Aug 2024 07:33 WIB

Warga Korsel Gugat Pemerintah, Minta Kebebasan Gunakan Listrik Hijau

UU Korsel menghalangi warga biasa untuk menggunakan listrik dari energi terbarukan..

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Ilustrasi PLTS atap.
Foto: dok SUNterra
Ilustrasi PLTS atap.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Sebanyak 41 orang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi Korea Selatan (Korsel). Dalam aksi yang dilakukan di Hari Energi Korsel itu, para penggugat menuntut revisi undang-undang yang membatasi pengadaan energi terbarukan untuk penggunaan umum atau industri.

Undang-undang ini menghalangi warga biasa berpartisipasi dalam pembelian listrik yang bersumber dari energi terbarukan. "Sekitar 15 persen konsumsi listrik Korea Selatan digunakan untuk listrik rumahan. Dengan membatasi energi terbarukan bagi pengguna umum dan industri, pengguna rumahan tidak bisa membeli energi terbarukan," kata pengacara bagi Solutions for Our Climate (SFOC), Kim Geonyoung seperti dikutip dari Renewables Now, Senin (26/8/2024).

Ia menambahkan hal ini menghalangi hak warga untuk memutuskan apa yang mereka beli untuk mengatasi perubahan iklim dengan cara memilih listrik yang bersumber dari energi terbarukan. Berdasarkan jajak pendapat SFOC dan Hankook Research terhadap 2.000 responden yang mencakup pria dan wanita berusia 20 sampai 59 tahun, pada awal tahun sekitar 56,8 persen responden merasa hidup mereka terhubung dengan perluasan energi terbarukan.

Sekitar 47,4 persen responden yakin upaya mereka memperluas energi terbarukan dapat menciptakan perubahan. Sekitar 47,7 persen juga mengindikasi mereka bersedia membayar lebih untuk membeli listrik yang bersumber dari energi terbarukan.

Sekretaris Jenderal Consumer Climate Action, Cha-Kyung Lee menekankan pentingnya peran agen perubahan. “Kami percaya konsumen dapat menjadi agen perubahan dalam ekosistem energi. Sangat penting bagi pemerintah untuk menyadari bahwa menanggapi permintaan konsumen akan hak untuk memilih listrik ramah lingkungan adalah cara yang efektif untuk mencapai netralitas karbon,” katanya.

Pasar listrik Korea Selatan dimonopoli perusahaan listrik BUMN, Korea Electric Power Corporation (KEPCO). Perusahaan ini mengawasi sebagian besar pembangkit listrik dan menjadi distributor tunggal yang menyediakan listrik bagi konsumen.

Berdasarkan Undang-undang Korsel saat ini, rata-rata rumah tangga tidak bisa membeli opsi listrik dari energi terbarukan karena tidak adanya mekanisme yang sesuai, seperti perjanjian jual-beli listrik atau power purchase agreements (PPA).

Meskipun perusahaan dapat memanfaatkan berbagai mekanisme di bawah skema RE100 Korea, seperti PPA pihak ketiga, PPA langsung, dan pembelian sertifikat, konsumen perumahan hanya dapat menggunakan pembangkit listrik mandiri, seperti memasang panel surya di rumah mereka.

Rata-rata warga Korsel yang tinggal di gedung apartemen tidak dapat memenuhi 100 persen kebutuhan listrik mereka dengan menggunakan panel surya. Sehingga opsi pengadaan energi terbarukan alternatif menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Jepang, Jerman dan Inggris memiliki mekanisme yang memungkinkan warga membeli listrik sumber energi terbarukan untuk rumah mereka. “Dalam perlombaan untuk memerangi krisis iklim, sangat penting memberi ruang sebanyak mungkin pada pemangku kepentingan untuk membeli energi terbarukan," kata Kim dari SFOC.  

Ia menjelaskan dengan merevisi undang-undang yang menghalangi konsumen listrik rumah tangga membeli energi terbarukan, Korsel dapat memberdayakan tindakan warga negara di dalam negeri dan menjadi contoh pengadaan energi terbarukan untuk rumah tangga di kawasan. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement