Sabtu 21 Sep 2024 15:09 WIB

Komunitas Rentan di Amazon Menanggung Konsekuensi Terbesar dari Perubahan Iklim

Ketinggian air Sungai Solimoes di Amazon mencapai titik terendah.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Kondisi Sungai Rio Negro di Distrik Cacau Pirera, Iranduba, negara bagian Amazonas, Brasil, Senin (2/9/2024).
Foto: Reuters/Bruno Kelly
Kondisi Sungai Rio Negro di Distrik Cacau Pirera, Iranduba, negara bagian Amazonas, Brasil, Senin (2/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, MANACAPURU--Aktivis Greenpeace di Brasil memasang spanduk bertuliskan "Who Pays?" di tepi salah satu anak sungai Amazon yang mengalami kekeringan parah. Maksud dari tulisan itu siapa yang dirugikan atas kerusakan di Amazon akibat perubahan iklim dan pemanasan global yang menurut Greenpeace disebabkan penggunaan bahan bakar fosil.

Ketinggian air Sungai Solimoes di Amazon mencapai titik terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekeringan memperlihatkan dasar sungai Solimoes yang mengalir di seberang Kota Manacapuru, tepat di hulu sungai Kota Manaus di mana sungai itu bergabung dengan Rio Negro untuk membentuk Sungai Amazon.  

Kekeringan yang melanda Amazon dua tahun berturut-turut meningkatkan kemungkinan kebakaran hutan dan membuat masyarakat tepi sungai kehilangan akses transportasi air karena sungai terlalu dangkal untuk dilayari.

"Kami ingin mengirim pesan perubahan iklim sudah berdampak bahkan di hutan hujan terbesar di dunia dan mengeringkan sungai-sungainya," kata juru bicara Greenpeace Brasil, Romulo Batista, Jumat (20/9/2024).

Komunitas di Amazon termasuk masyarakat adat, nelayan dan warga tepi sungai lain yang rentan menerima konsekuensi paling besar dari perubahan iklim.

“Masyarakat yang tinggal di luar kota-kota di Amazon membayar harga mahal  atas peristiwa iklim ekstrem yang disebabkan industri minyak dan gas di seluruh dunia,” kata Batista.

Kekeringan memanaskan suhu air sungai dan danau, membunuh ikan dan lumba-lumba air tawar yang terancam punah. Pada Rabu (18/9/2024) para peneliti mengukur suhu air sungai Solimoes yang mencapai 40 derajat Celcius, suhu yang tidak dapat ditoleransi ikan dan lumba-lumba. Terlihat kerangka ikan dan ikan-ikan yang sekarat di tepi sungai.

Para peneliti juga menemukan bangkai bayi lumba-lumba di Danau Tefe, Amazon. Kekeringan tahun lalu membuat lebih dari 200 lumba-lumba air tawar yang hampir punah itu mati karena tingginya suhu air danau.

"Kami menemukan beberapa satwa mati, pekan lalu, rata-rata kami menemukan satu satwa mati setiap hari, kami belum mengasosiasikan kematian-kematian ini dengan perubahan suhu air, tapi dengan meningkatnya jarak antara populasi manusia, terutama nelayan dengan satwa," kata kepala proyek lumba-lumba di Mamiraua Institute for Sustainable Development Miriam Marmontel.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement