REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kebijakan pembangunan Jakarta dinilai mengabaikan daerah pesisir dan Kabupaten Kepulauan Seribu. Pengamat tata kelola kota, Nirwono Yoga, menyoroti arah pembangunan Jakarta yang dinilai hanya fokus pada kawasan daratan, khususnya daerah "segitiga emas" dan mengabaikan kawasan pesisir serta Kepulauan Seribu.
Menurutnya, selama 25 tahun terakhir, kebijakan pembangunan Jakarta lebih terpusat pada daerah strategis ekonomi, sementara wilayah pesisir seperti Pulau Pari dan Kepulauan Seribu sering kali diabaikan.
"Pembangunan kota Jakarta selama ini lebih fokus pada kawasan yang disebut 'segitiga emas'. Perencanaan tata ruang dan alokasi anggaran lebih banyak diarahkan ke sana, sementara kawasan pesisir, termasuk Kepulauan Seribu, terlupakan," kata Nirwono dalam diskusi peluncuran laporan "Keadilan Iklim untuk Jakarta Berketahanan" Greenpeace Indonesia, Selasa (24/9/2024).
Ia mengatakan, dalam rencana tata ruang Jakarta periode 2022-2042 kawasan pesisir dan Kepulauan Seribu kembali tidak menjadi prioritas. Bahkan, katanya, sering kali dalam berbagai rapat perencanaan, wilayah Kepulauan Seribu seolah terlupakan sebagai bagian dari Jakarta.
"Sering kali, dalam rapat-rapat itu, bahkan ada yang lupa bahwa Jakarta memiliki wilayah kepulauan. Kepulauan Seribu sering kali tidak disebutkan, seolah-olah Jakarta hanya terdiri dari lima wilayah daratan: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan," tegas Nirwono.
Menurutnya, kondisi ini menimbulkan ketimpangan pembangunan yang semakin parah, terutama mengingat potensi ancaman tenggelamnya Jakarta pada tahun 2050. Banyak studi memprediksi bahwa wilayah pesisir Jakarta akan tenggelam dalam beberapa dekade ke depan, namun rencana penanggulangan yang ada hanya difokuskan pada daratan Jakarta, bukan Kepulauan Seribu.
"Skenario yang diprediksi untuk tahun 2050, pantai Jakarta akan bergeser hingga ke wilayah Dukuh Atas. Jika itu terjadi, bisa dibayangkan Kepulauan Seribu akan hilang. Namun, sayangnya, kebijakan yang ada hanya fokus pada penyelamatan daratan Jakarta, bukan wilayah kepulauan," jelasnya.
Pembangunan Giant Sea Wall disebut Nirwono sebagai contoh kebijakan yang hanya berorientasi pada daratan. Proyek yang didukung oleh beberapa calon gubernur dalam pemilihan kepala daerah ini bertujuan untuk mencegah tenggelamnya daratan Jakarta akibat naiknya permukaan air laut. Namun, proyek ini tidak menyentuh persoalan yang dihadapi oleh Kepulauan Seribu.
"Giant Sea Wall itu tujuannya jelas untuk menyelamatkan daratan Jakarta dari ancaman tenggelam, namun tidak ada dampaknya bagi wilayah Kepulauan Seribu. Dinding raksasa ini dibangun di sepanjang pantai utara Jakarta, sehingga kawasan kepulauan tetap tidak mendapat perhatian," kata Nirwono.
Lebih lanjut, ia menekankan ketidakadilan dalam alokasi anggaran dan perencanaan pembangunan ini akan memperburuk kondisi wilayah pesisir dan kepulauan. Padahal, kawasan-kawasan tersebut memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem kota Jakarta.
"Kawasan pesisir dan Kepulauan Seribu adalah bagian yang tak terpisahkan dari Jakarta. Namun, kebijakan yang ada selalu mengesampingkan mereka. Ini sangat ironis, mengingat wilayah ini juga memiliki potensi ekonomi dan lingkungan yang besar," katanya.
Nirwono berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan pembangunan yang lebih inklusif, termasuk dengan melibatkan kawasan pesisir dan Kepulauan Seribu dalam perencanaan tata ruang dan alokasi anggaran yang lebih adil.
"(Giant Sea Wall) tidak ada urusannya dengan Kepulauan Seribu, makanya, itu (dibangun) di depan pantai utara, Itu saja menunjukkan, mulai dari anggaran, kebijakan, tidak berpihak pada Kepulauan," kata Nirwono.
Dengan proyeksi kenaikan permukaan air laut dan ancaman tenggelamnya Jakarta pada 2050, Nirwono mengingatkan bahwa pendekatan yang hanya berfokus pada daratan tidak cukup untuk menghadapi tantangan besar yang dihadapi Jakarta.