Oleh : Dr Jiwa Muhamad Satria Nusantara, Pakar Kebijakan Publik
REPUBLIKA.CO.ID, November Tahun 2024 menjadi salah satu sejarah baru demokrasi di Indonesia. Bahwasanya, akan dilaksanakan Pilkada serentak di seluruh daerah baik tingkat provinsi ataupun kabupaten dan kota di Indonesia. Berbagai fenomena mulai dari penunjukan Penjabat Kepala Daerah sampai calon kepala daerah yang melawan kotak kosong telah mewarnai proses menuju Pilkada serentak tahun 2024.
Terlepas dari segala polemik fenomena tersebut, masyarakat menaruh harapan besar kepada setiap kepala daerah terpilih agar memberikan dampak manfaat yang nyata. Hal ini mengingatkan kita kembali atas pernyataan Henry Clay bahwa,"government is a trust and the officer of the government are trustees, both of the trust and trustees are created for the benefit of the people". Praktisnya, fungsi pemerintahan dari Prof. Ryaas Rasyid yang terdiri dari pelayanan, pembangunan, pemberdayaan dan pengaturan, diharapkan dapat bersifat inklusif dan meningkat kualitasnya.
Seorang Kepala Daerah merupakan motor penggerak roda pemerintahan di daerah. Kebijakan yang bersifat langsung dirasakan oleh masyarakat namun tetap memiliki target pembangunan jangka menengah dan panjang menjadi suatu urgensi yang tidak dapat ditawar. Selain itu, sikap kepemimpinan yang empati terhadap kondisi rakyat juga diharapkan dapat menjadi dasar pemikiran kebijakan dan "role model" bagi seluruh ASN yang dipimpinnya.
Hambatan dan tantangan akan ditemui oleh setiap kepala daerah. Bahkan, hal tersebut dimulai dari proses pencalonan seperti contohnya isu terkait tingginya biaya politik. Ke depan, ini perlu untuk menjadi bahan evaluasi bersama. Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah yang lebih efisien namun efektif menghasilkan Kepala Daerah yang berkualitas, penting untuk dirumuskan kembali.
Pasca menjabat, tantangan keterbatasan anggaran akan ditemui hampir di sebagian besar daerah. Hal tersebut dikarenakan, terkadang perimbangan kewenangan tidak sesuai dengan perimbangan keuangan. Selain itu, mandatory program pembangunan di daerah yang sudah spesifik dan harus diselaraskan dengan pembangunan pusat juga akan menjadi tantangan tersendiri.
Mandatory penyelarasan dimaksud faktanya akan mengikis ruang otonomi di daerah untuk melaksanakan prioritas pembangunannya. Idealnya, tidak hanya secara proses pembahasan dalam perencanaan pembangunan, tapi bukti nyata atas usulan daerah terhadap pembangunan nasional di daerahnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah pusat dalam menetapkan program pembangunan. Sehingga, bentuk otonomi yang diharapkan tidak justru menjadi otonom-mini.
Sebagai langkah nyata, setiap Kepala Daerah terpilih sebagaimana mandat UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, akan menyusun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah atau RPJMD. Pada dokumen tersebut, Kepala Daerah penting untuk turut serta secara aktif merumuskan program kerja yang akan dilakukan selama menjabat berdasarkan visi dan misi kampanye. Tentunya, aspirasi masyarakat juga sangat penting untuk menjadi atensi bagi seluruh Kepala Daerah.
Pada implementasinya, tidak hanya program yang bersumber dari APBD, Kepala Daerah juga perlu aktif untuk mengundang para investor agar turut berkolaborasi membangun daerahnya dengan tetap memperhatikan kearifan lokal. Dari kacamata ini, kepala daerah akan menjalankan peran sebagai inisiator pembangunan yang sekaligus "sales pembangunan".
Kondisi di atas adalah sebagian kecil "risiko" yang akan dihadapi oleh setiap kepala daerah definitif terpilih nantinya. Namun, harus disadari bahwa jabatan "Kepala Daerah" yang dipilih melalui proses demokrasi, merupakan pelimpahan amanah langsung dari masyarakat. Sehingga, masyarakat menaruh harapan besar kepada "Anda" untuk menjaga amanah dan memberikan manfaat langsung masyarakat.