Senin 30 Sep 2024 07:25 WIB

IESR: Indonesia Butuh 1.380 M Dolar AS untuk Capai NZE

PMK untuk mempercepat transisi energi perlu lebih efektif.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Lanskap langit Jakarta terlihat cerah hingga tampak biru. Investasi untuk mencapai dekarbonisasi di sistem energi sebesar 30-40 miliar Dolar AS per tahun.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Lanskap langit Jakarta terlihat cerah hingga tampak biru. Investasi untuk mencapai dekarbonisasi di sistem energi sebesar 30-40 miliar Dolar AS per tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 tahun 2023 pada 13 Oktober 2023. PMK No 103/2023 untuk memberikan dukungan fiskal melalui kerangka pendanaan dan pembiayaan untuk percepatan transisi energi di sektor ketenagalistrikan.

Berdasarkan penilaian Climate Policy Implementation Check 2024 yang dilakukan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR), PMK ini memberikan payung hukum untuk mendukung investasi pengembangan energi terbarukan dan percepatan pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara lewat Platform Transisi Energi yang dikelola oleh PT SMI.

Baca Juga

Aturan ini memungkinkan pendanaan platform transisi energi bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun sumber sah lainnya, seperti kerjasama pendanaan internasional. Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Namun, IESR mendorong pelaksanaan PMK 103/2023 yang lebih efektif dengan memperjelas tata kelolanya, mengedepankan transparansi dalam penentuan keputusan dan alokasi pembiayaan APBN untuk dukungan pendanaan platform ini.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menuturkan, keberadaan PMK No 103/2023 ini menjadi dasar pengalokasian APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal dan mempercepat pencapaian target pembangunan energi terbarukan.

IESR memperkirakan investasi untuk mencapai dekarbonisasi di sistem energi sebesar 30-40 miliar Dolar AS per tahun atau berkisar total 1.380 miliar dolar AS hingga 2050. Sementara itu, untuk selaras dengan pencapaian target kenaikan temperatur global 1,5 derajat Celsius maka 2-3 GW kapasitas PLTU batubara perlu berhenti operasinya secara bertahap tiap tahun hingga 2045.

Menurutnya, pendanaan dari sumber APBN ini diperlukan dalam rangka membuat transaksi dari pengakhiran operasi PLTU tersebut layak secara finansial. “Pembiayaan pengakhiran operasional PLTU batubara melalui APBN diharapkan dapat mencakup PLTU milik PLN," kata Fabby dalam siaran pers, dikutip Senin (30/9/2024).

Ia menambahkan mempensiunkan PLTU juga perlu mempertimbangkan beberapa faktor penentu, misalnya usia PLTU yang mencapai sedikitnya 20 tahun atau telah melewati usia ekonomisnya. Serta penggunaan teknologi PLTU batubara subcritical yang menghasilkan emisi sangat tinggi dan dilakukan di sistem kelistrikan yang pasokan daya listriknya berlebih (overcapacity). "Selain itu, perlu pula diperhatikan dampaknya terhadap keamanan energi dan mekanisme pembiayaannya,” tambah Fabby.

Menurut Fabby, pendanaan dari APBN akan menutup kesenjangan pendanaan pengakhiran operasi PLTU lebih awal milik PLN dari luar negeri atau lembaga keuangan internasional karena sejumlah isu mengenai valuasi nilai PLTU tersebut. Pendanaan dari APBN yang paling memungkinkan dalam kondisi ini.

Selain itu, Fabby menambahkan, pengakhiran operasi PLTU milik PLN akan mengalihkan dana kompensasi tersebut ke kas PLN untuk memperkuat permodalan PLN melakukan investasi yang lebih besar pada pembangkit energi terbarukan dan transmisi kelistrikan.

Studi Climate Policy Implementation Check IESR ini menyoroti terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan PMK No 103/2023 untuk memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan. Pertama, diperlukan harmonisasi kebijakan lintas sektor untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batubara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya.

Kedua, meningkatkan transparansi dan mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang sejauh ini belum termuat dalam regulasi ini. Ketiga, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebagai pengelola platform perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar. Selain itu, platform ini perlu memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya (cost recovery).

Staf Program Transisi Berkeadilan, IESR, Muhammad Aulia Anis mengatakan pada 2022, alokasi anggaran mitigasi iklim dari APBN untuk sektor energi dan transportasi mencapai Rp 19,5 triliun atau sekitar 1,3 miliar Dolar AS. Jumlah ini menunjukkan pemerintah mulai berkomitmen untuk mendukung transisi energi.

Namun, investasi ini masih jauh dari angka yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan, sehingga membutuhkan lebih banyak sumber pendanaan publik dan swasta.

“Transisi energi di Indonesia membutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya mempercepat penggunaan energi terbarukan tetapi juga mengatasi berbagai kesenjangan dalam institusi, pengawasan, dan pendanaan. Pemerintah perlu terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mewujudkan transisi energi yang cepat, adil, dan berkelanjutan,” tegas Aulia.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement