Jumat 04 Oct 2024 14:00 WIB

Studi Terbaru Ungkap Badai Sebabkan Lonjakan Kematian di AS

Total kematian langsung yang ditimbulkan Badai Helene sudah naik tiga kali lipat.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Pohon tumbang menimpa Gereja Bethel akibat Badai Beryl yang melanda kawasan Van Vleck, Texas, Amerika Serikat, Senin (8/7/2024).
Foto: AP Photo/Eric Gay
Pohon tumbang menimpa Gereja Bethel akibat Badai Beryl yang melanda kawasan Van Vleck, Texas, Amerika Serikat, Senin (8/7/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, CALIFORNIA -- Penelitian terbaru mengungkapkan badai yang menerjang Amerika Serikat (AS) akan semakin mematikan. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature menunjukkan kematian akibat badai di AS akan jauh lebih banyak dibandingkan kecelakaan mobil.

Dalam 15 tahun terakhir, rata-rata kematian yang diakibatkan badai di AS sekitar 7 ribu sampai 11 ribu orang. Jauh lebih tinggi dibandingkan kematian langsung yang diperkirakan pemerintah yang hanya 24 kematian.

Para peneliti mengatakan total kematian langsung yang ditimbulkan Badai Helene sudah naik tiga kali lipat dan angka kematian akan semakin tinggi di badai-badai di masa depan.

"Melihat apa yang terjadi di sini membuat anda berpikir ini akan menjadi dekade yang sulit, bukan hanya apa yang akan terjadi beberapa pekan ke depan," kata pengamat iklim Stanford University dan salah satu penulis penelitian ini, Solomon Hsiang, Kamis (3/10/2024).

Hsiang yang juga merupakan mantan pejabat teknologi dan sains Gedung Putih menambahkan di setiap badai terjadi lonjakan kematian di negara bagian yang terdampak. Angka kematian ini belum pernah didokumentasikan atau diasosiasikan dengan badai.

Hsiang dan peneliti University of California di Berkeley Rachel Young meneliti angka kematian badai dengan cara yang berbeda dari penelitian sebelumnya. Analisa mereka lebih berorientasi kesehatan masyarakat dan ekonomi jangka-panjang yang disebut kematian tambahan.  

Mereka meneliti angka kematian di negara-negara bagian yang terdampak 501 badai yang melanda AS antara tahun 1930 sampai 2015. Mereka menemukan lonjakan angka kematian setiap setelah badai menerjang.

Hsiang mengatakan analisa ini pernah digunakan untuk meneliti ancaman gelombang panas dan ancaman kesehatan lainnya seperti polusi dan penyakit menular. Hsiang dan Young membandingkan angka kematian sebelum dan sesudah badai serta faktor lain yang dapat mengubah angka kematian.

Salah satu tantangan dari penelitian ini adalah satu tempat berulang kali dihantam badai. Sehingga terjadi lonjakan kematian berkali-kali.

Hsiang mengatakan kontribusi badai pada angka kematian setelah dampak langsung masih perlu dipelajari lagi. Tapi menurutnya masalah kesehatan akibat stres, perubahan lingkungan seperti racun, hilangnya akses ke pelayanan kesehatan dan kebutuhan lain serta kerusakan infrastruktur berkontribusi pada angka kematian setelah badai.

"Ketika seseorang tewas beberapa tahun setelah badai menerjang, penyebabnya akan dicatat sebagai serangan jantung, stroke atau gagal pernapasan," kata ilmuwan iklim A&M University di Texas Andrew Dessler.

Dessler tidak terlibat dalam penelitian Hsiang dan Young. Tapi ia melakukan penelitian serupa pada kematian akibat suhu panas dan dingin.

 "Dokter tidak mungkin tahu badai berkontribusi atau memicu sakitnya pasien, anda hanya bisa melihatnya dengan analisa statistik seperti ini," katanya.

Hsiang mengatakan awalnya ia dan Young mengira lonjakan kematian akibat badai itu akan hilang dalam hitungan bulan. Tetapi mereka terkejut saat memeriksa ratusan lonjakan tersebut dan mendapati lonjakan-lonjakan itu merenggang, perlahan-lahan, selama lebih dari 15 tahun.

"(Ini) hampir seperti tetesan kematian, seperti setiap bulan kami berbicara tentang lima hingga 10 orang yang meninggal lebih awal dari yang seharusnya," kata Hsiang.

Ia mengatakan masyarakat tidak menyadari masalah kesehatan mereka 10 atau 15 tahun setelah badai terkait dengan bencana itu. Tapi, kata Hsiang, data menunjukkan badai terkait dengan penyebab kematian beberapa tahun setelah bencana terjadi.

"Mereka tidak akan mati pada saat itu bila badai tidak menerjang. Dan pada dasarnya badai mempercepat kematian-kematian ini," katanya.

Angkanya begitu tinggi hingga para peneliti berulang kali memeriksa dan mengumpulkan berbagai faktor yang mungkin mereka lewatkan. "Butuh waktu bertahun-tahun bagi kami untuk sepenuhnya menerima ini memang terjadi," kata Hsiang.

Penelitiannya menyimpulkan badai salah satu faktor dari 55 ribu sampai 88 ribu kematian tambahan setiap tahunnya. Penelitian itu mengungkapkan sepanjang 85 tahun terdapat sekitar 3,6 juta sampai 5,2 juta orang yang tewas akibat badai. Di periode yang sama sebanyak 2 juta orang tewas akibat kecelakaan mobil.

Hsiang mengatakan sebelumnya badai hanya dilihat sebagai bencana yang menimpa sebagian masyarakat tapi kini dianggap "ancaman besar kesehatan masyarakat."

Hsiang mengatakan ia dan Young melihat adanya tren peningkatan kematian akibat badai, yang sebagian besar disebabkan pertumbuhan populasi. Ia mengatakan mulai tahun 2000, terjadi lonjakan besar dalam jumlah badai yang menghantam populasi besar.

Tiga ilmuwan yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan hasil penelitian Hsiang dan Young masuk akal. “Sepertinya apa yang mereka lakukan masuk akal, angka-angkanya sangat mengejutkan," kata ahli badai dari University of Albany, Kristen Corbosiero, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement