REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mendorong penyelarasan antara industri dengan ekonomi hijau. Di dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, industrialisasi sudah menjadi keharusan untuk menggerakkan perekonomian Indonesia. Otomatis, dibutuhkan banyak energi dan sumber daya alam yang bisa diolah, serta rantai pasok yang lebih masif.
“Itu kemudian berimplikasi kepada bagaimana jarak, tempat, bagaimana transportasi, dan semua ini yang kemudian menjadikan kita juga berpikir bagaimana kalau kita, industri yang ingin maju, tapi pada saat yang sama kita menyatakan ekonomi hijau adalah sumber pertumbuhan,” kata Staf Ahli Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur Kementerian PPN/Bappenas Leonardo AA Teguh Sambodo dalam Sustainable Development Goals (SDGs) Annual Conference 2024 di Jakarta, Selasa (8/10/2024).
Apabila industri hendak tumbuh besar, maka dibutuhkan pasokan energi yang masif. Apalagi, Indonesia ingin mengedepankan industri mineral dan batu bara mengingat adanya berbagai komoditas melimpah seperti nikel dan bauksit di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah juga bertekad menerapkan ekonomi hijau untuk mencapai tujuan dari target-target SDGs. “Karena itu, kita juga melihat bagaimana target-target industri itu bisa diselaraskan dengan target untuk ekonomi hijau tetap dikedepankan. Tentu saja harapannya porsi dari EBT (Energi Baru dan Terbarukan) yang tersedia dan terjangkau untuk industri itu juga semakin banyak, dan pada saat yang sama penggunaan sumber daya alam itu juga tidak merusak, misalnya keanekaragaman hayati,” ucapnya.
Dia menegaskan bahwa efisiensi energi akan diselaraskan dengan transisi menuju EBT dengan memperhatikan seluruh aspek di sektor industri, mulai dari proses produksi hingga pengelolaan limbah.
Kolaborasi antar pemangku kepentingan juga dibutuhkan dalam rangka mendorong transformasi industri menerapkan konsep ekonomi hijau, menginisiasi skema pembiayaan untuk membangkitkan EBT, serta mendirikan industri-industri baru yang berkelanjutan.
Penggabungan antara pendekatan berkelanjutan dengan solusi digitalisasi industri 4.0 dinilai turut menciptakan efisiensi dalam metode produksi. ”Kita semakin tahu di titik-titik mana di rantai pasok dari proses manufaktur ini bisa ditingkatkan efisiensinya, bisa dikurangi kebutuhan untuk bahan bakunya, dan bagian-bagian ini juga menjadi satu kebutuhan. Maka, research dan development ini menjadi salah satu kunci yang mendasari,” ungkap dia.
Selain memperhatikan industri besar, Teguh menyebutkan bahwa industri kecil dan menengah perlu pula menjadi bagian dalam transisi menuju praktik berkelanjutan. Beberapa upaya yang dapat didorong antara lain memperkuat kebijakan industri berkelanjutan, pengembangan standar hijau secara bertahap untuk industri, serta memperbanyak investasi dan akuisisi teknologi yang ramah lingkungan.
“Mungkin bapak ibu suka mendengar, khusus untuk kelapa sawit, mungkin juga kakao, dan untuk produk-produk yang lain, ada EU (European Union) Deforestation Regulation yang rencananya akan diberlakukan pada 1 Januari 2025, yang menuntut traceability sangat tinggi untuk semua barang yang diimpor oleh negara-negara Eropa, dan ini menjadikan salah satu standar baru yang sebenarnya menjadi perhatian kita, apakah kita sudah bisa memenuhi seperti ini,” ujar Teguh.