Rabu 09 Oct 2024 13:11 WIB

Uni Eropa Kembali Tegaskan Komitmen pada Pendanaan Iklim

Sudah waktunya Uni Eropa meminta pertanggungjawaban industri fosil.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Logo COP29 Azerbaijan
Foto: Azertac
Logo COP29 Azerbaijan

REPUBLIKA.CO.ID, LUKSEMBURG -- Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, akan berlangsung bulan depan. Pemerintah negara-negara Eropa kembali berjanji melanjutkan kontribusi pada janji sebesar 100 miliar dolar AS untuk membantu negara berkembang mitigasi dan beradaptasi dampak perubahan iklim.

Menteri-menteri keuangan Uni Eropa menegaskan kembali akan membantu negara berkembang menanggung beban perubahan iklim. Mereka juga berjanji "terlibat dengan konstruktif" dalam perundingan untuk meningkatkan janji pendanaan iklim.

Dikutip dari Euro News, Rabu (9/10/2024), di pertemuan Dewan Uni Eropa di Luksemburg, menteri-menteri keuangan Eropa mengungkapkan keprihatinan mereka tahun 2023 merupakan "Tahun terpanas yang tercatat". Sementara suhu rata-rata bumi di 1,45 derajat Celsius di atas masa pra-industri.

Mereka juga khawatir dengan pecahnya rekor suhu laut, kenaikan permukaan laut dan mencairnya gletser. Berdasarkan Perjanjian Paris, negara-negara maju termasuk negara-negara Uni Eropa plus Australia, Kanada, Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Turki, Inggris dan Amerika Serikat (AS) diharapkan menggelontorkan dana untuk aksi iklim di negara berkembang sebesar 100 miliar dolar AS per tahun dari tahun 2020.

Namun, target itu baru tercapai pada 2022, dua tahun setelah tenggat waktu, ketika total dana iklim global mencapai 116 miliar dolar AS. Sekitar seperempatnya dari anggaran Uni Eropa, Dana Pembangunan Eropa dan Bank Investasi Eropa (EIB).

Namun, menjelang COP29 yang akan digelar mulai 11 November mendatang perdebatan mengenai dana iklim setelah 2025 yang dikenal "target pendanaan iklim kolektif baru yang terukur" akan berlangsung panas.  

Sejumlah pihak di Perjanjian Paris, termasuk Uni Eropa mendesak sejumlah negara juga ikut berkontribusi. Termasuk Cina dan negara-negara produsen minyak dan gas di Teluk Arab.

Menanggapi laporan dari Luksemburg, organisasi lingkungan hidup Greenpeace mengatakan pemerintah-pemerintah Eropa gagal mengakui tanggung jawab industri bahan bakar fosil terhadap perubahan iklim. "Peristiwa iklim ekstrem melanda negara-negara di seluruh dunia, sementara penghasil polusi besar terus mengeruk keuntungan yang memecahkan rekor," kata Lorelei Limousin dari Greenpeace Uni Eropa.

Ia menambahkan sudah waktunya pemerintah-pemerintah negara Eropa dan Uni Eropa meminta pertanggungjawaban industri bahan bakar fosil untuk membayar kerusakan dan penderitaan yang mereka timbulkan.

Greenpeace mengatakan Climate Action Network memperkirakan negara-negara berkembang membutuhkan sekitar 1 triliun dolar AS per tahun dari negara-negara kaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Greenpeace juga mendesak negosiator Uni Eropa di Baku untuk mendorong peningkatan dana dan pajak bagi para penghasil polusi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement