Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua dekade lalu, kecerdasan buatan [Ai] mungkin hanya ada dalam khayalan kita [fiksi]. Seperti dalam film The Terminator yang pertama kali rilis tahun 1984, saat muncul teknologi bernama Skynet. Sebuah sistem kecerdasan buatan berbasis komputer, yang menjadi lebih pintar dari manusia.
Namun kini, berkat kemajuan teknologi yang pesat, mimpi itu perlahan-lahan menjadi kenyataan. Kecerdasan buatan telah berkembang jauh melampaui imajinasi kita, bisa menjalankan berbagai tugas yang super kompleks. Dari pengenalan wajah yang digunakan dalam keamanan hingga asisten virtual yang membantu kita dalam kehidupan sehari-hari, Ai telah menjadi bagian integral dari rutinitas kita.
Salah satu perkembangan paling canggih dalam Ai adalah kemampuan deep learning, di mana algoritma dapat mempelajari dan mengenali pola dari data dalam jumlah besar. Teknologi ini telah diterapkan di berbagai bidang, mulai dari diagnosis medis yang lebih akurat hingga kendaraan otonom yang dapat beroperasi tanpa pengemudi.
Di sektor industri, Ai juga telah mengubah cara perusahaan beroperasi. Dengan otomatisasi proses produksi dan analisis data real-time, perusahaan kini dapat mengoptimalkan kinerja dan mengurangi biaya. Lihatlah bagaimana BYD, pabrikan mobil listrik asal Tiongkok, yang kini bisa meningkatkan efisiensi produksinya. Beberapa laporan menyebut, berkat bantuan Ai BYD mampu memproduksi 3000 unit mobil per hari atau sekitar 125 hingga 166 unit perjam.
Para perintis Ai
Namun magnet industri kecerdasan buatan juga tak bisa lepas dari sorotan. Ada ragam kontradiksi di balik pesona kecerdasannya yang mencengangkan. Dan itu sebetulnya sudah terlihat dari pertama kali dasar-dasar perkembangan kecerdasan buatan itu diletakan.