Kamis 10 Oct 2024 14:44 WIB

Tanaman Lokal Solusi Hadapi Perubahan Iklim

Memanfaatkan sumber pangan lokal sangat penting di tengah perubahan iklim.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Petani mencangkul tanah untuk ditanam umbi-umbian di Curugbitung, Lebak, Banten, Sabtu (14/8/2021).
Foto: Antara/Muhammad Bagus Khoirunas
Petani mencangkul tanah untuk ditanam umbi-umbian di Curugbitung, Lebak, Banten, Sabtu (14/8/2021).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diversifikasi pangan dinilai salah solusi adaptasi perubahan iklim. Direktur Ketuhanan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sjamsul Hadi menjelaskan perubahan iklim, termasuk pergeseran musim tanam dan cuaca ekstrem, telah menyebabkan gangguan serius pada tanaman, terutama padi.

"Panas yang ekstrem membuat daun-daun muda kering dan layu," kata Sjamsul di Forum Bumi II: Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia, Kamis (10/10/2024).

Hal ini memerlukan penyesuaian waktu tanam dan panen untuk mencegah kegagalan produksi pangan, terutama di desa-desa yang mengandalkan pertanian sebagai sumber utama pangan. Sjamsul menyoroti tanaman lokal seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap perubahan iklim dibandingkan dengan tanaman seperti padi. "Tanaman lokal seperti umbi dan kacang-kacangan lebih tahan terhadap perubahan iklim," ujarnya.

Berbeda dengan padi yang memerlukan air dalam jumlah banyak dan memiliki masa panen yang terbatas, tanaman lokal memiliki fleksibilitas waktu panen dan dapat bertahan lebih lama dalam kondisi tanah yang kering.

Ia juga menekankan pentingnya masyarakat desa kembali menanam tanaman lokal di sekitar rumah sebagai alternatif pangan apabila terjadi kegagalan panen pada padi. "Jika padi gagal panen, kita masih punya umbi-umbian, jagung, dan kacang-kacangan sebagai alternatif," tambahnya.

Selain itu, pengolahan hasil tanaman lokal juga dapat dimaksimalkan. "Misalnya beras jagung atau ketela pohon yang bisa diolah menjadi beras. Masyarakat sebenarnya sudah memiliki pengetahuan ini, tinggal bagaimana kita menyadarkan kembali pentingnya penanaman tanaman lokal sebagai antisipasi perubahan iklim," jelas Sjamsul.

Menurut Sjamsul, masyarakat adat di berbagai daerah di Indonesia sebenarnya sudah memiliki pengetahuan terkait tanaman lokal yang diwariskan turun-temurun. Namun, pengetahuan ini perlu diingatkan kembali agar masyarakat lebih siap menghadapi kondisi gagal panen akibat perubahan iklim.

"Kita tidak sedang mengembalikan, tapi menyadarkan masyarakat untuk kembali menggunakan kearifan lokal. Jika terjadi gagal panen, mereka masih bisa memanfaatkan sumber pangan alternatif yang ada di sekitar rumah atau kebun," katanya.

Ia mencontohkan, di Jawa dan Sumatra, praktik menanam tanaman lokal sudah ada sejak lama, namun dalam beberapa dekade terakhir, ketergantungan pada beras meningkat. Oleh karena itu, Sjamsul menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa tanaman lokal seperti umbi-umbian lebih tahan terhadap perubahan iklim, dan masa panennya lebih fleksibel.

"Tanaman seperti ubi-ubian masih bisa disimpan di tanah saat tidak dipanen, dan akan tumbuh lagi ketika hujan datang," jelas Sjamsul. Hal ini menjadikan tanaman lokal sebagai cadangan pangan yang lebih andal dalam kondisi cuaca yang tidak menentu.

Selain di tingkat masyarakat, edukasi terkait pangan lokal juga mulai dikenalkan di sekolah-sekolah. Sjamsul menjelaskan bahwa modul pendidikan gizi telah disusun untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang pentingnya pangan lokal yang sehat dan bergizi.

"Anak-anak perlu tahu tentang nilai gizi dari makanan yang mereka konsumsi. Sebelum makan sehat dibagikan, mereka akan menulis dan memahami menu yang akan dimakan," ujar Sjamsul.

Modul ini juga melibatkan orang tua dalam proses edukasi, sehingga mereka bisa lebih sadar akan pentingnya tanaman lokal sebagai sumber pangan. "Kami juga memberikan penjelasan kepada orang tua bahwa banyak bahan pangan yang diimpor, seperti gandum. Dengan demikian, mereka bisa lebih memahami pentingnya sumber pangan lokal," tambahnya.

Sjamsul Hadi menegaskan solusi jangka panjang menghadapi perubahan iklim dan ketahanan pangan terletak pada pemanfaatan tanaman lokal. Edukasi dan peningkatan kesadaran masyarakat mengenai tanaman lokal, serta penerapan kembali kearifan lokal, diharapkan dapat menjaga ekosistem pangan desa dan mengurangi ketergantungan pada beras.

"Kita berharap konsep 'makan apa yang kita tanam, tanam apa yang kita makan' bisa kembali menjadi prinsip dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka tidak perlu bergantung pada bahan pangan dari luar," kata Sjamsul. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement