REPUBLIKA.CO.ID, CALI -- Kehancuran alam di seluruh dunia telah mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Permasalahan ini menjadi perhatian utama dalam Konferensi Keanekaragaman Hayati (COP16) yang dimulai Senin (22/10/2024) di Cali, Kolombia.
Selama dua pekan pertemuan ini, para pemimpin dunia akan membahas penurunan keanekaragaman hayati serta pentingnya alam bagi ekonomi global.
Tumbuhan dan hewan memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, mulai dari siklus nutrisi hingga aerasi tanah dan pengelolaan sungai. Tanpa keberadaan tumbuhan dan hewan, dunia akan menjadi tempat yang tidak layak huni bagi manusia.
Namun, menurut data International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), lebih dari seperempat spesies yang dikenal di dunia, atau sekitar 45.300 spesies, kini terancam punah. Hewan-hewan yang hampir punah termasuk pesut vaquita dari Meksiko, badak putih utara di Afrika, dan serigala merah di Amerika Serikat.
Menurut World Wide Fund for Nature (WWF), populasi satwa liar yang dipantau menyusut sebesar 73 persen secara global pada tahun 2020 dibandingkan dengan angka tahun 1970. Hutan yang merupakan rumah bagi sebagian besar spesies tumbuhan dan hewan di setiap ekosistem, termasuk 68 persen spesies mamalia, memainkan peran kunci dalam indikator kerusakan alam.
Pada tahun 2021, lebih dari 100 negara berjanji untuk menghentikan deforestasi dan degradasi hutan pada tahun 2030. Namun, berdasarkan penilaian analisis tahunan yang dirilis koalisi organisasi riset dan masyarakat sipil yakni Forest Declaration Assessment, hingga tahun 2023, luas lahan yang ditebangi justru 45 persen lebih tinggi dari target untuk mencapai tujuan tersebut.
Meskipun tingkat deforestasi di Amazon Brasil menurun, angka deforestasi di Bolivia, Indonesia, dan Republik Demokratik Kongo justru meningkat. Para ilmuwan juga khawatir tentang degradasi hutan, di mana kebakaran, penebangan, dan kekuatan destruktif lainnya merusak hutan tanpa sepenuhnya menghancurkannya. Laporan tersebut menunjukkan target untuk mengakhiri degradasi hutan masih tertinggal sekitar 20 persen.
Sementara itu, menurut otoritas ilmiah global terkemuka tentang alam Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), penangkapan ikan menjadi penyebab utama kerusakan kehidupan laut. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) mengatakan lebih dari 40 negara, dengan total populasi 3,2 miliar orang, mengandalkan makanan laut untuk setidaknya 20 persen asupan protein mereka.
Menurut FAO, sekitar 38 persen stok ikan dieksploitasi secara berlebihan, dibandingkan dengan sekitar 10 persen pada pertengahan 1970-an. WWF juga menyatakan penangkapan ikan berlebihan mengganggu ekosistem terumbu karang yang menyediakan tempat tinggal, makanan, dan tempat berkembang biak bagi seperempat kehidupan laut di dunia. Tahun ini, dunia mengalami pemutihan karang massal keempat, dengan lebih dari separuh area terumbu karang mengalami pemutihan akibat suhu laut yang tinggi.
Pertanian mendorong sekitar 90 persen deforestasi tropis, ketika hutan dihancurkan untuk membuka lahan bagi perkebunan kedelai, peternakan sapi, perkebunan kelapa sawit, dan produksi komoditas lainnya dalam skala besar. Pemerintah di seluruh dunia memberikan subsidi pertanian yang merusak lingkungan sebesar 635 miliar dolar AS per tahun, dan kemungkinan triliunan dolar lebih dalam subsidi tidak langsung, menurut Bank Dunia.
Negara-negara yang tergabung dalam COP15 tahun 2022 sepakat untuk mengidentifikasi subsidi yang merusak lingkungan pada tahun 2025 dan menguranginya setidaknya 500 juta dolar AS per tahun mulai tahun 2030. Para aktivis lingkungan juga mendesak bank untuk menghentikan pemberian kredit kepada sektor komoditas yang terkait dengan deforestasi. Menurut koalisi kelompok riset dan advokasi Forest & Finance Coalition dari Januari 2023 hingga Juni 2024, total kredit yang diberikan bank-bank ke perusahaan itu sekitar 77 miliar dolar AS.
Alam memberikan beragam manfaat gratis bagi ekonomi global, mulai dari serangga yang membantu penyerbukan tanaman, tumbuhan yang menyaring pasokan air bersih, hingga hutan yang menyediakan kayu untuk konstruksi. Sekitar 44 triliun dolar dari output ekonomi tahunan dunia, atau setengah dari total global, bergantung pada sumber daya dan jasa alam ini, menurut Forum Ekonomi Dunia. Ini termasuk 2,1 triliun dolar AS di Amerika Serikat, 2,4 triliun dolar AS di Uni Eropa, dan 2,7 triliun dolar AS di Cina.
Bank Dunia memperkirakan kehancuran beberapa ekosistem, seperti perikanan atau hutan asli, dapat merugikan ekonomi dunia sebesar 2,7 triliun dolar AS per tahun pada 2030, sekitar 2,3 persen dari total output global. Program Lingkungan PBB (UNEP) memperkirakan bahwa investasi untuk melindungi alam harus meningkat menjadi 542 miliar dolar AS per tahun pada 2030, naik dari 200 dolar AS miliar pada 2022, untuk menghentikan kerusakan alam dan mencapai target iklim.
Krisis keanekaragaman hayati ini tidak hanya merupakan ancaman terhadap alam, tetapi juga terhadap kelangsungan ekonomi global. COP16 memberikan panggung penting bagi negara-negara untuk bekerja sama mencari solusi guna mengatasi kerusakan alam yang terus berlanjut.