Selasa 22 Oct 2024 23:13 WIB

Membaca Hilirisasi Versi Bahlil dan Agenda Pemerataan Ekonomi

Hilirisasi salah satu instrumen penting pemerataan kesejahteraan

Susana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, Maluku Utara, Rabu (16/10/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara mencatat nilai ekspor Maluku Utara pada September 2024 secara bulanan mencapai 14,5 triliun dolar AS atau naik sebesar 14,68 persen dibanding Agustus 2024 mencapai sebesar 812,13 juta dolar AS yang mendominasi besi dan nikel.
Foto: ANTARA FOTO/Andri Saputra
Susana aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Ahmad Yani Ternate, Maluku Utara, Rabu (16/10/2024). Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara mencatat nilai ekspor Maluku Utara pada September 2024 secara bulanan mencapai 14,5 triliun dolar AS atau naik sebesar 14,68 persen dibanding Agustus 2024 mencapai sebesar 812,13 juta dolar AS yang mendominasi besi dan nikel.

Oleh : Ilham Akbar Mustafa, aktif di BPP HIPMI dan Golkar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Apa yang menarik dan penting dari disertasi Bahlil Lahadalia tentang kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia?

Pertanyaan ini muncul setelah saya menyaksikan Sidang Terbuka Promosi Doktor Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG UI) pada 16 Oktober 2024. Disertasinya tentang “Kebijakan, Kelembagaan dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia.”

Baca Juga

Dari satu pertanyaan itu kemudian muncul rentetan pertanyaan lain: kenapa negara perlu melakukan intervensi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), yang dalam konteks ini tekait kebijakan hilirisasi nikel? Apa sebenarnya tujuan dari kebijakan ini dan mengapa Bahlil begitu concern dengan hal ini?

Pertanyaan awal, dan rentetan pertanyaan yang timbul kemudian akan saya jawab melalui esai singkat ini.

Tiga Alasan

Disertasi Bahlil menarik dan penting karena tiga hal. Pertama, disertasi ini berangkat dari pengalaman Bahlil sebagai Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mengurusi hilirisasi nikel di Indonesia. Dalam konteks ini, Bahlil adalah subjek sekaligus objek riset.

Dengan posisi demikian, tentu ada kelebihan dan tantangannya. Pada satu sisi, Bahlil sangat menguasai kebijakan dan implementasi serta persoalan hilirisasi nikel karena ia adalah pelaku. Pada sisi lain, ada potensi bias subjektivitas karena ia meriset diri sendiri apa yang dilakukannya.

Meskipun demikian, dalam disertasinya, Bahlil bersikap kritis terhadap apa yang dilakukannya (baca: dilakukan pemerintah) terkait kebijakan hilirisasi nikel. Kritik ini penting untuk mewujudkan hilirisasi nikel yang berkeadilan dan berkelanjutan, sekaligus mematahkan bias subjektivitas tersebut.

Selama ini, dampak hilirasi nikel terhadap pemerintah daerah dan masyarakat lokal belum adil dan berkelanjutan. Bahlil menyoroti persoalan dana bagi hasil yang belum adil, pelibatan pengusaha daerah yang minim, pencemaran lingkungan hingga pelanggaran hak ketenagakerjaan.

Dalam konteks kelembagaan, Bahlil dalam disertasinya merekomendasikan pembentukan Kementerian Sumber Daya Alam (SDA) dan Hilirisasi.

Tujuannya adalah ‘pengatur permainan’ (rule of game) dan orkestrator kebijakan hilirisasi bagi seuruh pemangku kepentingan. Rekomendasi ini rupanya ‘diakomodasi’ oleh pemerintahan Prabowo dan Gibran melalui pembentukan Kementerian Investasi dan Hilirisasi.

Kedua, mewujudkan kebijakan hilirisasi nikel yang berkeadilan dan berkelanjutan tidak dapat dilepaskan dari intervensi negara. Pengelolaan SDA tidak dapat sepenuhnya diserahkan ke pasar (market-driven). Jika ini terjadi, maka hanya segelintir orang yang menikmati kue SDA, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton.

Intervensi negara dalam pengelolaan SDA ini merupakan manifestasi dari UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Baca juga: Jika Benar-benar Berdiri, Ini Negara 'Islam' Pertama yang Halalkan Alkohol dan Bela Israel

 

Meskipun demikian, pengelolaan SDA juga tidak dapat sepenuhnya diserahkan ke negara karena keterbatasan anggaran, sumber daya manusia dan teknologi. Oleh karena itu, kolaborasi antara negara dan swasta dalam skema public-private partnership merupakan sesuatu yang mungkin untuk diimplementasikan.

Negara menjadi watch dog untuk memastikan pengelolaan SDA ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Dalam konteks disertasinya, Bahlil menginginkan hilirisasi nikel yang adil dan berkelanjutan, dan hal ini bisa terwujud jika ada peran negara.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement