Senin 28 Oct 2024 14:00 WIB

Pengawasan Sistem Peradilan, Wujudkan Transformasi Independensi Hakim

Pengawasan para hakim bukan bentuk intervensi atas Independensi

Hakim (Ilustrasi).Pengawasan para hakim bukan bentuk intervensi atas Independensi
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Hakim (Ilustrasi).Pengawasan para hakim bukan bentuk intervensi atas Independensi

Oleh : I Wayan Sudirta, SH MH, anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Beberapa hari ini, masyarakat dihebohkan dengan salah satu berita yang mencengangkan di bidang hukum dan kriminal yang telah tersebar di berbagai media.

Pemberitaan tersebut terkait dengan Kejaksaan Agung (Tindak Pidana Khusus) yang melakukan penangkapan terhadap salah satu mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yakni Zaroh Ricar (ZR) terkait dengan pengurusan kasus di MA oleh seorang pengacara (LR) dalam kasus meninggalnya alm Dini Sera Afrianti oleh terpidana Ronald Tannur.

Baca Juga

Belakangan diketahui, putusan MA justru mengabulkan kasasi Jaksa, sehingga Ronald Tannur harus menjalani hukuman pidana penjara lima tahun. Namun, hal ini menimbulkan dugaan bahwa suap atau gratifikasi tersebut untuk membuat putusan dengan pidana seminimal mungkin terhadap Ronald Tannur.

ZR juga diduga menerima gratifikasi atas pengurusan perkara-perkara, terutama ketika ZR menjabat sebagai Kapusdiklat MA. Berita ini sangat menghebohkan karena Kejaksaan Agung kemudian melakukan update informasi bahwa Kejaksaan Agung telah menggeledah rumah ZR di Senayan pada 24 Oktober 2024 dan hotel tempat ZR menginap (Bali). Kejaksaan Agung juga menyita sejumlah uang senilai hampir 1 Triliun Rupiah (kurang lebih Rp 920 Miliar) dan emas (51 kg).

Kejaksaan Agung melakukan konferensi pers dan memamerkan uang-uang hasil sita tersebut, yang dipecah dalam beberapa mata uang asing. Kejaksaan Agung juga menyampaikan bahwa penangkapan ini dimulai dari dugaan suap untuk pengurusan kasasi di MA dalam kasus Ronald J Tannur yang divonis bebas di Pengadilan Negeri Surabaya beberapa waktu lalu.

Kasus yang menyebabkan meninggalnya alm Dini Sera Afrianti ini sebelumnya menghebohkan masyarakat, karena terdakwa divonis bebas. Pada saat itu Komisi 3 DPR RI juga memberi perhatian setelah keluarga korban (alm Dini Sera Afrianti) mengadu pada Komisi 3 DPR RI.

Alhasil, Komisi 3 DPR merekomendasikan salah satunya agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan dan pengawasan kepada tiga hakim yang menjadi majelis hakim di kasus tersebut. Dengan terbongkarnya kasus ini, maka hakim-hakim tersebut kembali diperiksa oleh Kejaksaan Agung dalam dugaan keterlibatannya dengan gratifikasi tersebut.

Komisi 3 DPR menekankan agar permasalahan ini diusut karena mencederai kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan yang independen. Kasus ini bahkan juga membuat Komisi Yudisial selanjutnya membuat rekomendasi kepada MA untuk memeriksa dan memberhentikan majelis hakim yang bersangkutan.

Rekomendasi yang sebenarnya masih menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli dan pemerhati hukum. Namun belum selesai pembahasan atau diskursus mengenai hal itu, Kejaksaan Agung memberi berita besar tentang penangkapan yang terbilang “kakap”. Hal ini tentu sangat mengundang perhatian masyarakat, karena selain putusan yang dinilai kontroversial, kini terungkap pula dugaan suap dibaliknya.

Keyakinan masyarakat seolah semakin terkonfirmasi bahwa masih ada keterlibatan mafia hukum dan peradilan pada lembaga peradilan maupun pejabat dan hakim. Citra peradilan kembali tercoreng dengan terungkapnya penyalahgunaan kewenangan dan sejumlah oknum hakim, apalagi tentunya keterlibatan dalam tindak pidana korupsi. Kasus tindak pidana korupsi pada hakim juga bukan pertama kali terjadi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement