REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia didesak mengintegrasikan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam strategi pertumbuhan ekonomi. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menekankan pentingnya lima tahun ke depan sebagai periode krusial bagi transisi energi dan keberhasilan Indonesia mencapai status negara berpendapatan tinggi di 2045.
Menurut Fabby, jika tidak ada upaya serius dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, Indonesia terancam tidak mampu keluar dari jebakan pendapatan menengah. "Lima tahun mendatang menjadi sangat penting. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, tapi itu hanya bisa tercapai jika strategi penurunan emisi diintegrasikan dalam rencana pertumbuhan ekonomi," kata Fabby di Media Briefing IETD 2024 yang bertajuk "Memo Kebijakan Transisi Energi di Indonesia" pada Kamis (31/10/2024).
Fabby menjelaskan, sektor energi saat ini menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah sektor alih fungsi lahan dan kehutanan. Sektor ini diproyeksikan menjadi sumber emisi terbesar di Indonesia setelah 2025, seiring dengan meningkatnya permintaan energi dan dominasi energi fosil dalam bauran energi nasional. Hal ini, menurut Fabby, membuat transisi menuju energi terbarukan semakin mendesak.
"Di masa depan, energi akan menjadi sektor penyumbang emisi utama, yang berarti kita harus mulai memangkas emisi dari sektor ini sekarang," ujar Fabby.
Ia menambahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu memberikan perhatian khusus pada agenda transisi energi guna mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan beralih ke energi bersih, yang merupakan bagian dari upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hijau.
Fabby mengkritik lambatnya perkembangan energi terbarukan di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Ia mengatakan setiap tahun IESR merilis Indonesia Energy Transition Outlook. Berdasarkan pengamatan IESR pengembangan energi terbarukan masih jauh dari target yang ditetapkan pemerintah.
Target 23 persen energi terbarukan pada 2025 menjadi sangat sulit tercapai, meski ia tetap optimistis jika dalam satu tahun ke depan ada upaya yang lebih maksimal untuk meningkatkan kapasitas energi terbarukan.
"Kita kehilangan kesempatan emas dalam lima tahun terakhir untuk mendorong transisi energi. Padahal, setiap kali kita menunda, biaya transisi energi akan semakin besar, dan dampak ekonomi yang ditimbulkan akan semakin berat," kata Fabby.
Jika terus dibiarkan, Indonesia bahkan bisa gagal mencapai target pertumbuhan ekonomi tinggi yang dibutuhkan untuk memenuhi ambisi Indonesia Emas 2045.
Fabby mencatat pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun hingga 2029. Namun, untuk mencapai target tersebut, diperlukan penggunaan sumber daya secara efisien, penerapan teknologi bersih, dan percepatan transisi energi di sektor industri, transportasi, dan listrik.
"Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, emisi gas rumah kaca harus ditekan. Artinya, kita harus meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan mempercepat transisi energi," jelasnya.
Fabby menjelaskan pembangunan infrastruktur energi rendah karbon akan membutuhkan investasi besar, antara 25-30 miliar dolar AS per tahun hingga 2030. Investasi tersebut dinilai penting, tidak hanya untuk mencapai target energi terbarukan, tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi yang diharapkan pemerintah.
Selain itu, Fabby menyoroti pentingnya kebijakan pemerintah yang konsisten untuk memperkuat investasi di sektor energi terbarukan, terutama mengingat bahwa transisi energi menjadi kunci dalam pencapaian target Paris Agreement. "Dengan investasi yang cukup besar, kita bisa memastikan bahwa sektor energi menjadi lebih bersih dan efisien, sekaligus menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi," katanya.
Dengan melihat tantangan yang dihadapi dan target ambisius yang ingin dicapai, IESR mengingatkan bahwa lima tahun mendatang akan menjadi periode penentu dalam mengubah wajah energi di Indonesia.