REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) Bambang Brodjonegoro menegaskan pentingnya perubahan pola pikir terkait keberlanjutan dan transisi energi. Menurut Bambang, transisi energi bukanlah beban bagi perekonomian, melainkan peluang besar yang dapat menarik investasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam sesi diskusi, Bambang menyoroti pentingnya sektor infrastruktur untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen. Namun, ia menekankan Indonesia saat ini masih terlalu bergantung pada konsumsi domestik sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi, yang membuat pertumbuhan stagnan di sekitar 5 persen.
"Investasi menjadi sangat penting, dan kita perlu mengubah pola pikir bahwa transisi energi ini adalah sebuah peluang,” kata Bambang di panel diskusi Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 yang berlangsung di Jakarta, Senin (4/11/20240.
Bambang menjelaskan pemerintah memiliki peran krusial untuk meyakinkan sektor swasta dan investor asing bahwa transisi energi di Indonesia adalah peluang investasi yang menjanjikan. Menurutnya, jika pemerintah gagal memberikan kepercayaan kepada para investor, maka akan sulit untuk menarik investasi di sektor energi terbarukan. “Jika hanya mengandalkan investasi dari BUMN atau APBN yang terbatas, kita tidak akan mencapai potensi yang diinginkan,” tambahnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peran sektor swasta dalam menyambut peluang transisi energi ini. Bambang menceritakan pengalamannya sebagai komisaris independen di sebuah perusahaan energi yang awalnya berbasis pada tambang batu bara, namun kini mulai beralih ke energi terbarukan. Menurutnya, perusahaan tersebut mulai menyadari pentingnya transisi energi dan keberlanjutan untuk masa depan bisnis mereka.
Perusahaan tersebut, meski baru membangun dua pembangkit listrik tenaga batu bara dengan kapasitas total 600 megawatt, memutuskan untuk menjual aset tersebut pada awal tahun depan. “Ini adalah langkah penting bagi mereka untuk keluar dari sektor bahan bakar fosil,” ujar Bambang. Ia menjelaskan perusahaan tersebut memiliki target menjadi perusahaan yang bebas emisi pada tahun 2030.
Namun, tantangan utama yang dihadapi perusahaan tersebut, menurut Bambang, adalah bagaimana mengganti pendapatan yang hilang akibat keputusan untuk meninggalkan sektor batu bara. Sebagai langkah awal, mereka mulai berinvestasi dalam energi terbarukan, termasuk angin di Nusa Tenggara Timur, biomassa, mikrohidro di Lampung, dan panel surya terapung di Batam. Tetapi, perusahaan tersebut mengalami kesulitan karena proses perizinan dan regulasi yang lambat dan tidak pasti dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
“Peran pemerintah di sini sangat penting. Sektor swasta sudah siap untuk melakukan transisi ini, namun pemerintah perlu memfasilitasi agar mereka tidak frustasi,” ujar Bambang.
Ia menekankan insentif dari pemerintah akan membantu sektor swasta beralih ke energi terbarukan. Bambang juga menyebutkan perusahaan energi tersebut bahkan mulai mengembangkan bisnis sepeda motor listrik sebagai upaya diversifikasi.
Selain itu, perusahaan tersebut telah mulai berbisnis di sektor pengolahan limbah, dimulai dari limbah medis hingga limbah industri. Meski mereka menghindari limbah perkotaan yang dianggap “terlalu berbahaya”, Bambang melihat potensi besar dalam pengelolaan sampah perkotaan sebagai sumber energi. Dia menyoroti bahwa Jakarta dan Tangerang menghasilkan puluhan ribu ton sampah per hari, yang dapat dikonversi menjadi listrik melalui teknologi waste-to-energy.
“Jika pemerintah tidak mendukung atau memfasilitasi, sektor swasta mungkin akan merasa terlalu berisiko dan memilih untuk keluar dari bisnis energi," tambahnya.
Bambang menekankan transisi energi bukan hanya tentang mengurangi emisi karbon, tetapi juga menciptakan iklim bisnis yang sehat dan menarik bagi investor. “Ini adalah peluang besar bagi ekonomi kita. Pemerintah perlu menciptakan atmosfer bahwa keberlanjutan dan transisi energi adalah aset, bukan beban,” katanya.