Oleh : Alfi Rahmadi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seolah dikutuk sebagai ‘vampir’ yang kelak meledak pada era Progresif (1901-1929), korporasi Amerika Serikat (A.S) masih menyandang lebel mahluk penghisap darah ini kalau bukan ‘raksasa pembunuh’ sampai beberapa dekade pertama abad ke-20. Persepsi buruk ini baru move on setelah Perang Dunia II berakhir, memasuki era Perang Dingin.
Sejak itu korporat perlahan telah menjadi institusi yang disegani. Untuk meyakinkan konsumen dan politisi bahwa ukuran besar tidak menimbulkan ancaman terhadap demokrasi ataupun nilai-nilai Amerika, terasa misalnya pada AT&T, transnasional telekomunikasi bermarkas di Texas dan U.S. Steel, korporat industri baja di Pennsylvania, telah menciptakan ‘jiwa’ dalam diri mereka (Marchand, 1998).
Roland Marchand (1998), penulis karya Advertising the American Dream (1985) yang diakui secara luas, menjelaskan secara elegan tentang asal-usul serta dampak citra korporasi yang ada di dunia saat ini, terasa tidak terlepas dari antropologi ‘korporatisme’ Barat. Dengan menyelidiki transformasi penting budaya kapitalisme ini—dalam studi kasus terhadap raksasa seperti General Motors, General Electric, Metropolitan Life Insurance, dan Du Pont Chemicals—ia mengkaji gambaran retoris dan visual yang dikembangkan oleh para pemimpin korporasi untuk mendapatkan persetujuan publik serta membangun budaya internal organisasi.
Dengan menyelidiki pemikiran konsep pemangku kepentingan modern pasca era Progresif, dosen University of California-Davis ini mencatat: sejumlah korporat Amerika semakin memiliki ‘jiwa’ merupakan jawaban dari pertanyaan dan perdebatan publik tentang bagaimana tanggung jawab perusahaan terhadap publik secara luas. Pada ‘era keemasan’ industri Amerika dekade 1920-an, hampir semua perusahaan di A.S membanggakan kenegarawanan bisnis mereka, tetapi pada tahun-tahun Depresi, banyak dari mereka yang putus asa, sehingga mereka beralih ke bentuk-bentuk hubungan masyarakat (Humas) yang membela sistem kapitalis.
Selama Perang Dunia II (1939–1945), Humas mendapatkan perhatian baru dalam manajemen perusahaan ketika sejumlah korporasi menghubungkan diri mereka dengan Main-Street, kota kecil di Amerika. Pada akhir perang, citra perusahaan sebagai ‘tetangga yang baik’ banyak menggantikan citra ‘raksasa tak berjiwa’, karena beberapa korporasi Amerika tampak berhasil mengemas hubungan ekonomi yang semakin kompleks dalam naunsa keakraban dan menenangkan (Marchand, 1998) dalam menyelesaikan permasalahan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi pemangku kepentingan internal dan eksternal mereka.