Oleh : Yaser Taufik Syamlan, Peneliti SRIA - Dosen Manajemen Bisnis Syariah Institut Agama Islam Tazkia
REPUBLIKA.CO.ID, Baru-baru ini tepatnya di tanggal 27 Oktober 2024 yang lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Departemen Perbankan Syariah mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Produk Sharia Restricted Investment Account (SRIA) berbasis akad Mudharabah Muqayyadah.
Ini sebuah perjalanan panjang yang pada akhirnya menuai buah manis dengan dikeluarkannya pedoman tersebut untuk menstandarisasi pelaksanaan SRIA di Perbankan Syariah baik itu di Bank Umum, Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
Pedoman ini juga membuktikan relevansi kampus terhadap dunia industri karena dimulai dengan kolaborasi riset aksi antara Institut Agama Islam Tazkia yang dipimpin oleh Dr. Ries Wulandari (dan anggota tim Ibu Aminah Nuriyah, ME & Ibu Netty DH, ME) bersama OJK yang di lead oleh Bapak Deden Firman Hendarsyah dan Bapak Rudy Widodo di tahun 2018 yang saat itu mengusulkan SRIA dengan nama Sharia Restricted Intermediaries Account alih-alih seperti saat ini yang menggunakan istilah investment account.
Istilah intermediaries pada saat itu di merujuk kepada kemungkinan penggunaan akad lain selain Mudharabah Muqayyadah yang menjadikan bank sebagai marketplace antara investor dan project. Pada saat itu, dalam proses penelitian juga menggundang seluruh pemangku kepentingan dari Asbisindo, Asbisindo Kompartemen BPRS, Asbanda, DSN-MUI, IAI, dan LPS.
Dalam pedoman baru ini, OJK memilih akad Mudharabah Muqayyadah (MuMu) dengan 2 alasan utama. Pertama, dengan akad MuMu ini, menyederhanakan transaksi antara Nasabah Investor dan Bank Syariah.
Sebelumnya, dalam kajian SRIA-Intermediaries Account dibuka kesempatan bagi 3 pihak yakni Nasabah Investor, Project Owner sebagai para pihak yang terlibat langsung dan Bank Syariah sebagai broker yang berakibat ke pencatatan transaksi diluar Neraca atau disebut off-balance sheet.
Kedua, dengan akad MuMu, bank dapat mencatatkan pembiayaan SRIA ini sesuai pedoman OJK di Neraca atau yang dikenal pencatatan on-balance sheet. Pencatatan ini sangat diinginkan oleh para praktisi perbankan syariah karena akan membantu mereka dalam mencapai target bisnis yang diminta oleh pemegang saham yang tidak mungkin bisa didapatkan dengan skema off-balance sheet.
Pedoman SRIA yang diterbitkan oleh OJK pekan lalu benar-benar menunjukkan komitmen luar biasa OJK untuk mendiferensiasikan Perbankan Syariah dan kemurnian praktik keuangan syariah di Indonesia. SRIA dirancang untuk mempertegas perbedaan antara investasi berbasis syariah dengan instrumen keuangan konvensional dengan akad melaksanakan profit and loss sharing (termaktub di halaman 10) di mana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati.
Pada saat mengalami kerugian, sesuai dengan fitur akad Mudharabah, Nasabah Investor akan mendapatkan dananya kembali hanya ketika terjadi kerugian yang terjadi karena kelalaian Bank Syariah sebagai pengelola dana serta project-nya. Pendekatan ini mencerminkan kesungguhan dalam menegakkan keadilan dan kesetaraan antara Nasabah Investor dan pengelola dana, sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Diferensiasi lain yang ditawarkan SRIA adalah transparansi yang lebih baik dibandingkan dengan produk deposito. Produk ini menyediakan Product Disclosure Sheet dan lembar monitoring proyek yang memungkinkan Nasabah Investor untuk memantau kinerja dan perkembangan investasinya secara terbuka. OJK juga mengharuskan adanya konfirmasi pemahaman dari investor mengenai karakteristik SRIA, termasuk risiko yang melekat.
Langkah ini memastikan bahwa Nasabah Investor memiliki pemahaman yang jelas tentang investasi mereka, sehingga terhindar dari kesalahpahaman yang sering muncul pada produk keuangan yang memiliki istilah mirip deposito atau fixed return.
Dalam hal penyebutan produk, OJK menetapkan aturan yang tegas agar nama SRIA tidak mengandung kata "deposito" atau "fixed return." Ini untuk menghindari kebingungan dengan produk deposito di bank konvensional serta menegaskan bahwa ini adalah produk investasi dan bukan simpanan.
Selain itu, sebagai sweetner agar perbankan syariah segera menggunakan SRIA, OJK memberikan keleluasaan kepada Bank Syariah dengan mengecualikannya dari rasio Batas Maksimal Pemberian Dana (BMPD), 1% Diskon ATMR, dan dikecualikan dari perhitungan Financing to Deposit Ratio (FDR) yang juga bagian dari rasio kesehatan bank.
SRIA pada akhirnya akan sangat bermanfaat bagi Bank Syariah khususnya bagi Unit Usaha Syariah (UUS) yang belum melakukan spin off ke BUS seperti Bank CIMB Niaga Syariah, Bank Permata Syariah dan Maybank Syariah. Saat ini, sesuai peraturan POJK Nomor 12 Tahun 2023, UUS yang mempunyai aset diatas Rp 50 triliun wajib untuk melakukan pemisahan unit usaha syariah.
SRIA pada akhirnya tetap membuat ketiga UUS diatas tumbuh tanpa harus khawatir melewati treshold Rp 50 triliun yang ditetapkan oleh OJK. Selain itu, SRIA juga akan sangat membantu BPRS terutama pada mereka yang tidak dapat tumbuh di sisi pembiayaan karena rasio kecukupan modal yang terbatas. SRIA memberikan keleluasaan untuk menambah pembiayaan bagi BPRS tanpa khawatir melewati batas maksimal pemberian pendanaan.
Sebagai penutup, dengan komtimen dari OJK dan pemerintah, kita sama-sama berharap SRIA akan digunakan oleh Perbankan Syariah di Indonesia sehingga dapat meningkatkan pangsa pasarnya di Industri Perbankan.