Selasa 12 Nov 2024 07:48 WIB

COP29 Dibayangi Berbagai Peristiwa Geopolitik

Tuan rumah COP29, berharap negara-negara di dunia berhenti perang selama negosiasi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Presiden COP29 Mukhtar Babayev memberikan sambutan pada Konferensi Perubahan Iklim PBB COP29, Senin (11/11/2024), di Baku, Azerbaijan. Pembukaan COP29 ditandai dengan estafet kepemimpinan Presiden COP28 Sultan al-Jaber kepada Presiden COP29 Mukhtar Babayev. COP28 dan COP29 masih fokus pada pembahasan pendanaan inklusi dan global south.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Presiden COP29 Mukhtar Babayev memberikan sambutan pada Konferensi Perubahan Iklim PBB COP29, Senin (11/11/2024), di Baku, Azerbaijan. Pembukaan COP29 ditandai dengan estafet kepemimpinan Presiden COP28 Sultan al-Jaber kepada Presiden COP29 Mukhtar Babayev. COP28 dan COP29 masih fokus pada pembahasan pendanaan inklusi dan global south.

REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- Dalam satu tahun terakhir perkembangan geopolitik mempengaruhi upaya penanggulangan perubahan iklim. Terakhir dengan terpilihnya Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) untuk kedua kalinya dan ambruknya koalisi pemerintah Jerman, salah satu negara terdepan dalam perubahan iklim.

Menurut pakar terpilihnya Trump yang menolak kenyataan perubahan iklim dan ambruknya koalisi pemerintah Jerman membayangi dinamika negosiasi iklim di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29).

"Negara-negara bagian Utara perlu memangkas emisi lebih cepat lagi dan seharusnya saat ini sudah turun 20, 30, 40 persen, tapi kita malah mendapatkan Trump, koalisi pemerintah Jerman ambruk karena sebagian ingin ambisi yang lebih rendah, jadi kita masih sangat jauh (dari target iklim seharusnya)," kata ilmuwan iklim Imperial College, London Friederike Otto, Senin (11/11/2024).

Awalnya, tuan rumah COP29, Azerbaijan berharap negara-negara di seluruh dunia berhenti berperang selama negosiasi yang berlangsung dalam dua pekan. Tapi hal itu tidak terjadi karena perang di Ukraina, Gaza dan tempat-tempat lain masih berlanjut.

Sejumlah aktivis iklim di COP29 memakai kafiyeh Palestina. Beberapa membawa papan protes mendesak keadilan iklim dan negara-negara "berhenti memberikan bahan bakar genosida."

"Sistem opresi dan diskriminasi yang sama yang menempatkan masyarakat di garis depan perubahan iklim dan membawa masyarakat ke garis depan dalam konflik di Palestina," kata seorang pengunjuk rasa dari Friends of the Earth International Lise Masson.

Ia menyerang Amerika Serikat, Inggris dan Uni Eropa yang tidak memberikan lebih banyak dana pada penanggulangan perubahan iklim serta memasok senjata ke Israel. Seorang aktivis iklim dari Gaza, Mohammed Ursof menyerukan unjuk rasa di COP29. "(Untuk) mengembalikan kekuasaan pada masyarakat adat, kekuasaan pada rakyat," katanya dilansir laman The Associated Press.

Seorang organisator komunitas Hopi dan Akimel O'odham, Jacob Johns datang ke COP29 dengan harapan untuk dunia yang lebih baik. "Di depan mata kehancuran itu terletak benih penciptaan, kita harus menyadari kita bukanlah warga satu negara, kita adalah Bumi," katanya di sebuah panel tentang harapan masyarakat adat untuk aksi iklim. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement