REPUBLIKA.CO.ID, BAKU -- President Director dan CEO PT Vale Indonesia Tbk Febriany Eddy, menegaskan komitmen perusahaan untuk mendukung transisi energi global melalui praktik pertambangan nikel yang berkelanjutan dan rendah karbon. PT Vale Indonesia, yang telah beroperasi selama 56 tahun, memanfaatkan potensi Indonesia sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.
Febriany menyatakan mineral kritis seperti nikel menjadi elemen penting dalam transisi energi, dan ini membuka peluang besar bagi Indonesia. Saat ini, Vale Indonesia memiliki tiga proyek besar dengan total nilai investasi mencapai 9 miliar dolar AS yang telah disetujui oleh pemegang saham.
"Kami memiliki tiga proyek yang disetujui oleh pemegang saham kami, senilai sembilan miliar dolar AS. Dan ini, pada tahun 2026 dan 2027, kami akan menyelesaikan semua proyek kami dan pada saat itu kami akan menggandakan produksi kami. Dari hari ini, 80.000 hingga lebih dari 300.000 ton nikel. Dan ini tidak mungkin terjadi tanpa permintaan yang meningkat dari transisi energi. Peluang datang dengan tantangan," kata Febriany pada panel diskusi dalam rangkaian COP29, di Baku, Azerbaijan, Senin (11/11/2024).
Febriany mengatakan perusahaan menargetkan peningkatan produksi dari 80 ribu ton menjadi lebih dari 300 ribu ton per tahun, seiring dengan meningkatnya permintaan nikel untuk kebutuhan transisi energi. Namun, peluang besar ini juga dihadapkan pada tantangan. Salah satu tantangan utama adalah sifat bijih nikel laterit yang tinggi karbon.
Febriany mengatakan Vale Indonesia berupaya menjadikan nikel sebagai solusi untuk dekarbonisasi, dengan komitmen agar seluruh proses penambangan dan pengolahan memiliki jejak karbon rendah. Sebagai contoh, operasi Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan, telah didukung sepenuhnya oleh energi hidro, menjadikannya salah satu tambang nikel dengan intensitas karbon terendah di Indonesia.
Dalam upayanya memperluas operasi ke Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, Vale menghadapi tantangan baru karena tidak memiliki akses ke sumber tenaga air di wilayah-wilayah tersebut. Untuk menjawab tantangan ini, perusahaan mengimplementasikan teknologi terbaru yang menghasilkan intensitas karbon lebih rendah dibandingkan operasional di Sorowako.
Febriany menyebutkan peran teknologi High Pressure Acid Leaching (H-PAL) mendorong efisiensi karbon dalam industri, meski masih terdapat tantangan dalam pengelolaan limbah tailing. HPAL merupakan teknologi pengolahan mineral, khususnya bijih nikel, yang melibatkan proses pelarutan logam dengan menggunakan asam pada tekanan tinggi. Proses ini menghasilkan produk sampingan berupa nikel sulfat yang sangat murni, menjadikannya bahan baku ideal untuk produksi baterai kendaraan listrik (EV).
Ia mengatakan Vale Indonesia terus berupaya mencari solusi untuk menangani tailing dengan bantuan mitra teknologi mereka dari Cina, dan optimis dalam beberapa tahun ke depan dapat mengumumkan kemajuan terkait manajemen tailing.
Salah satu proyek inovatif yang disorot Febriany adalah pembangunan pabrik nikel di Sombalagi, yang dirancang untuk net zero atau nol-emisi sejak hari pertama. Proyek bernilai 1,5 miliar dolar AS ini menjadi simbol komitmen Vale Indonesia terhadap keberlanjutan. Febriany menekankan pencapaian net zero tidak hanya penting dari sisi lingkungan, tetapi juga berkontribusi pada efisiensi biaya operasional.
Ia mengatakan dengan memanfaatkan teknologi pemulihan panas limbah, sekitar dua pertiga dari kebutuhan energi pabrik akan dipenuhi dari daur ulang energi di dalam fasilitas itu sendiri, menjadikannya sebagai salah satu pabrik dengan biaya operasional terendah di dunia. Febriany juga menggarisbawahi pentingnya pertumbuhan ekonomi inklusif melalui investasi perusahaan di wilayah sekitar proyek.
Di Sombalagi, yang saat ini merupakan daerah terpencil dengan populasi sekitar 600 orang, PT Vale berencana membangun taman industri hijau. Perusahaan mengalokasikan sekitar 40 juta dolar AS dari total investasi untuk mendukung masyarakat sekitar. Sekitar 10 juta dolar AS akan digunakan untuk pembangunan fasilitas masyarakat, dan 30 juta dolar AS dialokasikan untuk fasilitas air, listrik, serta infrastruktur lainnya yang dapat digunakan oleh komunitas dan karyawan perusahaan.
Dalam rangka mendukung transfer teknologi dan pengetahuan ke Indonesia, PT Vale juga menginvestasikan 14 juta dolar AS untuk mendirikan fasilitas R&D (penelitian dan pengembangan). Fasilitas ini diharapkan dapat mempercepat alih teknologi dari Tiongkok ke Indonesia.
Menurut Febriany, mitra teknologi Vale Indonesia di Cina berkomitmen untuk berbagi pengetahuan dan teknologi, sehingga memungkinkan Indonesia untuk mempatenkan inovasi yang dihasilkan di fasilitas R&D tersebut. Febriany berharap dengan adanya alih teknologi ini, Indonesia dapat bergerak dari negara produsen sumber daya menjadi negara industri yang menguasai teknologi.
Di COP29, Febriany optimistis proyek-proyek Vale Indonesia, khususnya yang mengedepankan aspek keberlanjutan dan rendah karbon, dapat menjadi contoh bagi perusahaan lain di sektor pertambangan. Ia juga mengajak peserta COP29 untuk memantau perkembangan proyek ini, yang diharapkan selesai dalam satu setengah tahun ke depan, dan mengharapkan laporan kemajuan dapat disampaikan pada COP31 mendatang.
PT Vale Indonesia, dengan komitmen kuat terhadap dekarbonisasi dan keberlanjutan, menempatkan diri sebagai perusahaan tambang yang mendukung transisi energi dengan tetap memprioritaskan pembangunan komunitas dan lingkungan.