Senin 18 Nov 2024 15:32 WIB

Kinerja Bank Syariah di Indonesia, Tantangan dan Jalan Keluar

Bank Syariah di Indonesia dituntut mempunyai inovasi tersendiri

Petugas bank melayani nasabah saat Hari Pelanggan Nasional 2023 di BSI KC Bandung Asia Afrika, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (4/9/2023). Pada Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas) 2023, Bank Syariah Indonesia (BSI) berkomitmen untuk memberikan pengalaman Ultimate Service yang mengedepankan solusi digital dan uniqueness (keunikan) layanan di lebih dari 1.500 outlet di seluruh Indonesia. Serta, mendengarkan secara langsung saran masukan nasabah untuk bekal membangun ekonomi perbankan syariah di Indonesia.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas bank melayani nasabah saat Hari Pelanggan Nasional 2023 di BSI KC Bandung Asia Afrika, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (4/9/2023). Pada Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas) 2023, Bank Syariah Indonesia (BSI) berkomitmen untuk memberikan pengalaman Ultimate Service yang mengedepankan solusi digital dan uniqueness (keunikan) layanan di lebih dari 1.500 outlet di seluruh Indonesia. Serta, mendengarkan secara langsung saran masukan nasabah untuk bekal membangun ekonomi perbankan syariah di Indonesia.

Oleh : AM Hasan Ali, MA Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pendiri Sharia Business Intelligence (SBI)  

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Eksistensi bank syariah di Indonesia saat ini sudah bukan hal yang baru. Sejak Indonesia menerapkan kebijakan dual banking system, pada paroh awal tahun 1990-an, industri perbankan di Indonesia telah memasuki era baru. Yakni era pengakuan adanya bank syariah beroperasi di Indonesia.

Sebelum ada bank syariah, Indonesia masih menganut kebijakan single banking system. Hanya satu model sistem perbankan yang diperbolehkan beroperasi di Indonesia, yakni bank konvensional.

Dari sisi histori, eksistensi bank konvensional lebih dulu dikenal oleh masyarakat Indonesia, dibanding dengan bank syariah. Kalau ditelisik lebih jauh lagi keberadaan bank konvensional sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.

Masyarakat Indonesia sudah lebih dulu familiar dengan bank konvensional. Sedangkan eksistensi bank syariah di Indonesia baru dikenal pada medio awal tahun 1990 sehingga jarak keterkenalan bank syariah dengan bank konvensional ada disparitas yang cukup jauh. Kondisi ini yang bisa jadi menjadi salah satu penyebab masih rendahnya tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia.

Berdasarkan data yang dilansir oleh OJK, kinerja bank syariah di Indonesia pada Agustus 2024 masih menunjukan trend yang positif. Dari sisi aset, industri bank syariah di Indonesia membukukan total aset 902,39 triliun. Total dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun oleh bank syariah sebesar 705,19 triliun, tumbuh positif 11,43 persen (YoY).

Sedangkan kinerja pembiayaan yang dicatatkan oleh industri perbankan syariah di Indonesia sebesar 620,33 triliun, naik 11,65 persen(YoY). Capaian kinerja tersebut merupakan hasil kolaborasi yang dilakukan oleh pelaku di industri perbankan syariah di Indonesia yang terdiri dari 14 Bank Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 174 Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).

Tantangan 

Kinerja yang dicapai oleh industri perbankan syariah di Indonesia di atas bukannya tanpa tantangan. Namun sebaliknya, capaian kinerja tersebut dihadapkkan pada berbagai macam tantangan. Ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan syariah di Indonesia. Paling tidak ada empat tantangan yang dihadapi oleh industri perbankan syariah di Indonesia.

Pertama, minimnya pengembangan dan diversifikasi produk. OJK mensinyalir minimnya pengembangan dan diversifikasi produk di bank syariah dikarenakan tiga hal, yakni pengembangan produk masih didasari pada produk konvensional, kurangnya inovasi produk, dan diferensiasi produk yang kurang kuat.

Dalam kondisi saat ini, positioning industri perbankan syariah di tengah dinamika pengembangan industri perbankan nasional, masih menempati pada maqam sebagai market follower, mengikuti produk yang sudah dimiliki oleh pasar konvensional. Misal, seperti adanya produk murabahah di bank syariah yang berbasis jual-beli.

BACA JUGA: Kehancuran Proyek Zionisme Israel Mulai Terlihat Jelas?

Dalam penghitungan akuntansi piutang murabahah menghendaki adanya variabel pokok pembiayaan ditambah margin keuntungan. Sekilas model penghitungannya mirip dengan apa yang dimiliki oleh bank konvensional melalui skema pokok pinjaman ditambah bunga.

Isu menarik yang perlu dicermati pada masalah ini terletak pada persaingan penetapan besaran margin murabahah di bank syariah dan besaran bunga pinjaman di bank konvensional.

Dalam penetapan besaran margin, bank syariah masih dirasa kalah dengan bank konvensional. Market merespon dengan memberi anggapan kalau bank syariah sedikit lebih mahal dari bank konvensional. Kondisi ini, bisa terjadi dimungkinkan karena kinerja bank syariah masih belum seifisien dengan apa yang dijalankan oleh bank konvensional.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement