Jumat 22 Nov 2024 08:21 WIB

Pakar: Krisis Iklim Berkaitan Erat dengan Isu Feminis

Krisis iklim langgengkan dan dorong pelanggaran HAM perempuan.

Aktivis lingkungan dari Walhi Nasional melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, Jakarta, Senin (18/11/2024). Dalam aksinya mereka menuntut aksi nyata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan dalam mengatasi situasi krisis iklim sekaligus memberikan keadlian bagi iklim di tengah perbincangan para petinggi negara dalam forum COP29 di Azerbaijan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Aktivis lingkungan dari Walhi Nasional melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, Jakarta, Senin (18/11/2024). Dalam aksinya mereka menuntut aksi nyata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan dalam mengatasi situasi krisis iklim sekaligus memberikan keadlian bagi iklim di tengah perbincangan para petinggi negara dalam forum COP29 di Azerbaijan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) Mia Siscawati memandang krisis iklim bukan hanya permasalahan lingkungan, sosial, bahkan politik. Krisis iklim memiliki kaitan yang erat pula dengan isu feminis.

“Krisis iklim adalah isu feminis karena ada diferensiasi atau ada pembedaan dampak perubahan iklim bagi perempuan dari berbagai kelompok sosial,” kata Mia dalam diskusi secara daring di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Baca Juga

Ia mengingatkan krisis iklim dapat melanggengkan dan mendorong pelanggaran HAM perempuan, kekerasan berbasis gender (KBG), dan kekerasan seksual. Penyebab perubahan iklim secara struktural dan kultural berkelindan erat dengan ketidakadilan gender, ketidakadilan sosial, maupun eksklusi sosial.

“Dan bicara kebijakan maupun program terkait perubahan iklim, kita akan selalu bertanya, di mana posisi perempuan, di mana posisi kelompok rentan, kelompok marginal, termasuk di dalamnya tentu saja individu-individu yang memiliki beragam identitas sosial. Selain posisi, lalu suara siapa yang didengar sebetulnya,” kata dia.

Mia menjelaskan perempuan perlu dilihat bukan sebagai identitas yang homogen. Jika ditelusuri lebih dalam, kelompok perempuan memiliki identitas yang sangat beragam yang juga memungkinkan mereka untuk mendapatkan perlakuan diskriminasi maupun ekseklusi sosial.

Ada beberapa hak perempuan yang rentan dilanggar dalam kaitannya dengan krisis iklim antara lain hak atas hidup, hak atas udara bersih, hak atas air bersih, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas tempat tinggal yang layak, dan seterusnya.

Ia mengatakan kerusakan lingkungan atau krisis iklim dalam konteks tertentu juga mendorong kekerasan berbasis gender KBG. Tak sampai di situ, KBG dan pelanggaran HAM perempuan tidak hanya terjadi dalam persoalan kerusakan lingkungan dan krisis iklim, tetapi juga terjadi dalam upaya mengatasi krisis iklim.

Mia mengingatkan negara memiliki kewajiban untuk mengatasi KBG dan pemenuhan HAM perempuan dalam krisis iklim. Salah satu kewajiban tersebut yaitu mitigasi perubahan iklim serta mencegah dampak KBG dan pelanggaran HAM perempuan dalam mitigasi krisis iklim.

Kemudian, kewajiban negara lainnya antara lain mengupayakan agar setiap perempuan dapat membangun kapasitas adaptasi krisis iklim, menjamin pemulihan korban KBG dan pelanggaran HAM perempuan akibat perubahan iklim.

Lalu memobilisasi sumber daya untuk pembangunan berkelanjutan berbasis HAM perempuan, mencegah KBG dan pelanggaran HAM perempuan oleh perusahaan terutama perusahaan yang memiliki konsesi atas ekstrasi industri sumber daya alam, serta menjamin partisipasi perempuan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

“Apakah ini (kewajiban negara) sudah dilaksanakan? Ini pertanyaan yang bisa kita gunakan untuk memeriksa apa yang kemudian terjadi di lapangan,” ujar Mia.

Di sisi lain, imbuh Mia, para perempuan dari beragam kelompok sosial dan ragam identitas sebetulnya memiliki modal atau kekuatan dalam mengatasi KBG dan pelanggaran HAM perempuan akibat krisis iklim mulai dari pengetahuan perempuan, kepemimpinan perempuan, dan kekuatan solidaritas.

Meskipun terdapat kekuatan yang dimiliki perempuan, Mia mengatakan bahwa tidak bisa dipungkiri masih adanya tantangan salah satunya keterbatasan kehadiran lembaga penyedia layanan penanganan KBG di wilayah-wilayah kerusakan lingkungan dan krisis iklim.

Organisasi-organisasi pendamping isu krisis iklim juga biasanya masih menganggap bahwa upaya mengatasi KBG dan pelanggaran HAM perempuan dan kelompok rentan bukan mandat atau tugas mereka.

Sementara itu, ujar Mia, bisa jadi organisasi perempuan atau organisasi yang mendampingi perempuan masih memiliki keterbatasan untuk bisa memasukkan isu krisis iklim di dalam proses pendampingan, pengorganisasian, atau pemberian layanan terkait dengan penanganan KBG maupun bentuk kekerasan lainnya.

“Dan lagi-lagi, tantangan yang lain terutama tantangan di wilayah-wilayah yang selama ini sudah mengalami proses eksklusi karena ketidakadilan tenurial. Jadi komunitas sudah dieksklusi dalam arti kemudian diambil alih ruang hidup yang diklaim sebagai hutan negara, sebagai lahan negara. Dan ini menjadi tambahan lapisan persoalan termasuk tentu saja miskin kota yang juga punya permasalahan tersendiri,” kata Mia.

 

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement