REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Mahkamah Internasional (ICJ) menggelar sidang kasus terbesar dalam sejarah. Pengadilan tertinggi PBB itu akan menggelar sidang selama dua pekan mengenai apakah kewajiban negara-negara di seluruh dunia dalam mengatasi perubahan iklim dan membantu negara rentan dampak pemanasan global harus mengikat secara hukum.
Dikutip dari CGTN, Senin (2/12/2024), sidang ini digelar atas upaya bertahun-tahun negara-negara kepulauan yang khawatir akan tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut. Tahun lalu, Majelis Umum PBB meminta opini dari ICJ mengenai "kewajiban negara-negara dalam menghadapi perubahan iklim."
Dalam satu dekade terakhir sampai 2023, rata-rata permukaan air laut naik sekitar 4,3 sentimeter. Sebagian laut di Pasifik naik lebih tinggi. Pembakaran bahan bakar fosil juga menyebabkan dunia juga lebih panas 1,3 derajat Celsius dari masa pra-industri.
Vanuatu salah satu dari sekelompok negara yang mendorong intervensi hukum internasional dalam krisis iklim. Keputusan ICJ tidak akan mengikat hukum dan tidak dapat memaksa negara-negara kaya untuk membantu negara-negara rentan dampak perubahan iklim, namun akan menjadi simbol yang kuat karena keputusan ICJ dapat menjadi dasar tindakan hukum lainnya termasuk gugatan domestik.
Mulai Senin ini sampai dua pekan ke depan, ICJ akan mendengar 99 negara dan puluhan organisasi antar-pemerintah. Ini akan menjadi sidang dengan pernyataan terbanyak dalam 80 tahun pengadilan itu berdiri.
Dalam Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, Azerbaijan, bulan lalu negara-negara kaya berjanji menyediakan 300 miliar dolar AS per tahun untuk membantu negara-negara berkembang menghadapi perubahan iklim dan beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Jumlah itu jauh dari yang dibutuhkan negara-negara berkembang sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun.
Dalam sidang di ICJ, 15 hakim dari seluruh dunia akan mencari jawaban atas dua pertanyaan. Pertama, apakah negara-negara memiliki kewajiban hukum untuk melindungi iklim dan lingkungan dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia? Kedua, apa konsekuensi hukum bagi pemerintah yang tindakannya atau lemahnya tindakannya menimbulkan kerusakan iklim dan lingkungan?
Pertanyaan kedua khusus merujuk pada “negara-negara kepulauan kecil yang sedang berkembang” yang kemungkinan besar akan terkena dampak paling parah akibat perubahan iklim dan generasi sekarang dan yang akan datang yang terkena dampak buruk perubahan iklim.
Sebelum sidang badan perubahan iklim PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change akan memberikan pengarahan ke para hakim tentang sains di balik kenaikan suhu bumi. Kasus di ICJ mengikuti sejumlah putusan pengadilan domestik di seluruh dunia yang memerintahkan pemerintah berbuat lebih banyak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Pada bulan Mei, lalu pengadilan PBB untuk hukum maritim mengatakan emisi karbon memenuhi syarat sebagai polusi laut dan negara-negara harus mengambil langkah-langkah untuk beradaptasi dan mengurangi dampak buruknya.
Keputusan tersebut muncul satu bulan setelah pengadilan hak asasi manusia tertinggi di Eropa mengatakan negara-negara harus lebih melindungi rakyatnya dari konsekuensi perubahan iklim.
Negara tuan rumah ICJ, Belanda, menorehkan sejarah ketika pada tahun 2015 lalu pengadilan memutuskan perlindungan dari dampak perubahan iklim yang berpotensi menghancurkan adalah hak asasi manusia dan pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warganya. Keputusan tersebut diperkuat Mahkamah Agung Belanda pada tahun 2019.