Oleh : Yudi Ahmad Faisal, Komite Daerah Ekonomi dan Keuangan Syariah Jawa Barat dan akademisi FEB Universitas Padjadjaran
REPUBLIKA.CO.ID, Prosesi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh provinsi, kota dan kabupaten yang telah selesai mengundang pertanyaan bagaimana arah kebijakan ekonomi Syariah seiring beragam visi dan misi para kepala daerah terpilih. Dalam konteks nasional, arah kebijakan nasional ekonomi Syariah sudah termuat dalam UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN 2024– 2029. UU ini menjadi dasar hukum dan pedoman bagi Pembangunan nasional dan daerah. Namun tentu dalam konteks daerah, kebijakan dan implementasi ekonomi syariah akan disesuaikan dengan ciri khas, kearifan, dan fokus pembangunan ekonomi daerah termasuk kesesuaian dengan visi dan misi kepala daerah terpilih.
Dalam RPJPN 2024 – 2025 disebutkan bahwa penguatan ekonomi Syariah dalam rangka mendukung Pembangunan ekonomi nasional melalui 4 agenda utama, yaitu (i) peningkatan posisi ekonomi dan keuangan Syariah Indonesia di tingkat global; (ii) peningkatan peran keuangan sosial syariah yaitu ziswaf (zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf) dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan sosial; (iii) penguatan ekosistem industri halal, seperti makanan, minuman, fesyen muslim, industri kosmetik dan obat-obatan, pariwisata dan ekonomi kreatif, rantai nilai industri halal, kewirausahaan dan UMKM, serta (iv) penguatan literasi, regulasi, kelembagaan serta infrastruktur pendukung ekosistem ekonomi syariah. Dari arah kebijakan tersebut dapat disimpulkan beberapa indikator untuk mengukur kinerja aktivitas ekonomi syariah nasional dan daerah termasuk: (i) Aktivitas Usaha Halal; (ii) Sektor Rantai Nilai Halal; (iii) Ekspor Produk Halal; (iv) Pangsa Pasar Keuangan Syariah (proses); dan (v) pertumbuhan dana sosial syariah. Pendetailan dari indikator-indikator tersebut akan menjadi kinerja pencapaian ekonomi syariah tanah air.
RPJPN ini kemudian diturunkan menjadi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dari RPJMN kemudian akan menjadi pedoman penyusunan agenda Pembangunan melalui Kementerian/Lembaga termasuk Pemerintah Daerah (Provinsi, Kotamadya dan Kabupaten) melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Dalam UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJMN 2024-2029 disebutkan bahwa ekonomi Syariah adalah salah satu unsur pendukung Pembangunan ekonomi nasional. Misalnya, perbankan Syariah sebagai pendukung dari industri perbankan nasional yang beroperasi berdasarkan Dual Banking System dimana perbankan konvensional dan syariah berdampingan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keberadaan industri halal sebagai pendukung industri nasional. Keberadaan dana sosial syariah untuk mendukung sistem keuangan nasional yang lebih inklusif memberikan kebermanfaatan bagi seluruh lapisan Masyarakat.
Penguatan aktivitas ekonomi syariah di daerah adalah sebuah keniscayaan untuk memantapkan reputasi Indonesia sebagai penggerak ekonomi Syariah di tingkat global. State Global Islamic Index menempatkan Indonesia di urutan ketiga dalam Global Islamic Economy Indicator dibawah Malaysia dan Uni Emirate Arab (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2024). Mastercard-Crescent Rating Global Muslim Travel Index (GMTI) tahun 2024 menempatkan Indonesia dalam peringkat pertama sebagai destinasi terbaik untuk wisatawan muslim (Crescent Rating, 2024). Rekognisi tersebut harus memberikan dampak bagi Pembangunan ekonomi daerah melalui sinergi dengan berbagai potensi, kekuatan, keunikan, kekhasan serta kearifan lokal.
Salah satu karakter ekonomi syariah adalah inklusif. Ini merupakan refleksi dari pesan moral Islam untuk memberikan kebaikan bagi alam semesta (rahmatan lil 'alamin) dan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan. Secara konkret, misalnya, melalui harmonisasi tujuan-tujuan sosial dan komersial dalam pengembangan industri keuangan sehingga setiap unsur masyarakat mendapatkan manfaat tanpa membedakan status ekonomi dan sosial. Misalnya, pengembangan wakaf uang yang diintegrasikan dengan produk keuangan komersial, seperti cash waqf linked sukuk ataupun cash waqf linked deposit. Produk obligasi dan deposito yang mungkin selama ini hanya dapat diakses oleh golongan menengah ke atas, dapat didesain untuk memberikan kontribusi manfaat kepada masyarakat miskin.
Terlebih omnibus law nya sektor keuangan yaitu UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) memberikan peluang bank syariah untuk menjadi nazhir wakaf uang. Selain itu, pengembangan zakat untuk penguatan komunitas (zakat-based community empowerment), dapat membantu daya tahan ekonomi masyarakat miskin bahkan mentransformasi menjadi masyarakat produktif seperti yang sudah terbukti secara empiris di berbagai wilayah di Indonesia.
Terlebih, kecenderungan sifat dermawan masyarakat Indonesia yang menurut Charity Aid Foundation, menjadi salah satu negara dengan indeks Kedermawanan Dunia (World Giving Index) paling tinggi diantara 142 negara (CAF, 2024). Kedermawan ini, jika dikelola dengan baik dapat menjadi daya ungkit perekonomian nasional. Terlebih dana sosial yang berasal dari Masyarakat sangat besar, misalnya, potensi zakat per tahun mencapai Rp. 327 triliun (Baznas RI, 2024), sedangkan potensi wakaf Rp. 180 triliun per tahun (Kemenag RI, 2024).
Ekonomi Syariah fokus pada pengembangan sektor ekonomi riil. Sektor ini langsung bersentuhan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Salah satu unsur penting sektor ini adalah Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya puluhan juta dan penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Pengembangan instrumen keuangan syariah yang sesuai dengan karakter UMKM ini dapat mendukung pengembangan produk halal.
Sertifikasi halal yang telah digulirkan oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang sekarang sudah terlepas dari Kementerian Agama Republik Indonesia dan menjadi badan tersendiri, harus menjadi ajang penguatan kapabilitas UMKM Indonesia selain penguatan aspek halal dan thayyib. Kedepan, dengan bersertifikasi halal, UMKM dapat membenahi proses bisnis termasuk produknya sehingga dapat bersaing di pasar domestik maupun global.
Ekonomi syariah berbasiskan semangat kewirausahaan dan produktivitas. Teologi Islam sangat mengapresiasi konsep kerja dan produktif. Kewirausahaan di negara kita masih menjadi pekerjaan rumah. Global Entrepreneurship Index 2021 menempatkan indeks wirausaha Indonesia berada di peringkat 62 dari 180 negara, indeks kesiapan kewirausahaan global Indonesia berada di peringkat 103 dari 170 negara (Kemenkop UKM, 2023).
Meskipun demikian, berbagai program ekonomi syariah dapat diarahkan untuk memperkuat jiwa kewirausahaan ini diantaranya melalui berbagai program inkubasi bisnis Syariah yang dikerjasamakan secara pentahelix melibatkan pemerintah daerah, dunia Pendidikan, dunia usaha, media, dan masyarakat secara umum. Penguatan rantai nilai halal di daerah melalui bisnis komunitas sebagai media yang efektif untuk transfer pemahaman bisnis yang cepat.
Ekonomi syariah berbasiskan nilai-nilai keadilan. Pengembangan ekonomi dan keuangan syariah selalu dikaitkan dengan tujuan-tujuan keadilan sosial. Tulisan Sjafruddin Prawiranegara yang dihimpun oleh Ajip Rosidi (1988), misalnya, menafsirkan riba (salah satu konsep yang paling dominan dalam diskursus ekonomi Syariah) lebih menitikberatkan kepada segala bentuk eksploitasi dan upaya-upaya untuk menghancurkan sendi-sendi keadilan sosial. Dalam konteks praktis, salah satu inisiatif yang menjadi cikal bakal praktik Lembaga keuangan Syariah dan diinspirasi oleh konsep keadilan ini adalah adalah Mit Ghamr di Mesir pada tahun 1950-an.
Lembaga ini hadir di kawasan pemukiman orang-orang miskin untuk membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan. Orang-orang miskin yang menjadi target market Mit Ghamr adalah mereka-mereka yang tidak terakses oleh bank komersial. Organisasi ini bukanlah mesin pencetak profit bagi manajemen bank dan para pemilik, tetapi sebagai institusi intermediasi sosial yang menjadi fasilitator bagi si kaya untuk berjumpa dengan si miskin baik dalam relasi sosial maupun relasi komersial.
Fokus utamanya adalah pemberdayaan masyarakat. Mehmet Asutay, seorang professor keuangan Islam dari Durham University, menamakan model ini sebagai (Islamic) Social Bank, sebagai model yang paling dekat dengan konsepsi “homo-Islamicus”-nya ekonomi syariah, dimana manusia direpresentasikan bukan sekadar makhluk ekonomis pengejar keuntungan pribadi semata (self-interest), tetapi merupakan perpaduan yang seimbang antara makhluk religius, sosial, dan ekonomi (Faisal, 2023). Dalam bentuk modern, model Mit Ghamr ini menjelma dalam keuangan Mikro Syariah termasuk didalamnya Baitul Maal Wat Tamwil (BMT) sebagai bagian dan pelengkap dari lembaga keuangan non-Bank yang dapat dikembangkan di berbagai daerah melibatkan stakeholders terkait termasuk pemerintah daerah, dunia Pendidikan, dunia usaha dan Masyarakat.
Ekonomi Syariah bercirikan pertengahan (washatiyah). Dalam “Risalah Aspirasi Islam dan Penyalurannya” (1987), Sjafruddin Prawiranegara memandang bahwa sistem perekonomian tidak boleh disusun secara sosialistis menurut wawasan-wawasan Marxisme, tetapi juga tidak boleh dikelola secara kapitalistis gaya ekonomi liberal. Pemikiran tersebut kemudian menjadi agenda baru perekonomian yang banyak digagas oleh para pemikir termasuk didalamnya ekonomi syariah yang mengambil jalan tengah dari dua kutub ekonomi barat tersebut.
Arah Pembangunan yang mesti dikembangkan tidak harus bergerak secara ekstrim ke kiri sebagai bentuk dari sentralisasi ekonomi (a planned economy) maupun bergerak secara ekstrim ke kanan sebagai bentuk penghambaan terhadap ekonomi pasar bebas (a free market economy). Pembangunan ekonomi nasional dan daerah dapat ditempatkan diantara dua kutub ekstrim tersebut sebagai sebuah sistem yang fleksibel yang dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan khusus masyarakat Indonesia. Dalam konteks pemahaman ini, misalnya, pengembangan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus diarahkan bukan hanya sebagai mesin pencetak keuntungan daerah tetapi juga diarahkan untuk memfasilitasi berbagai kebutuhan masyarakat di daerah dengan mengintegrasikan konsep bisnis dan konsep sosial sekaligus.
Prof Dawam Rahardjo pernah menyampaikan bahwa Badan Usaha Milik Daerah (BUMN) sejatinya merepresentasikan pemahaman pertengahan ini. Sejatinya BUMN didesain bukan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat, tetapi memfasilitasi kebutuhan Masyarakat dengan tetap memperhatikan keberlanjutan usahanya. Hal ini merupakan refleksi dari sinergitas visi sosial dan komersial dalam sebuah bisnis yang sekarang mulai sedikit demi sedikit diimplementasikan oleh konsep keuangan Syariah.
Dari berbagai karakter ekonomi syariah diatas dapat menjadi pendukung pembangunan daerah. Terlebih UU Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJMN 2024-2029 memberikan landasan hukum bagi daerah untuk pengembangan aktivitas ekonomi syariah melalui 4 fokus kegiatan, yaitu mendorong peningkatan posisi ekonomi dan keuangan Syariah Indonesia di tingkat global, peningkatan peran keuangan sosial syariah khususnya ziswaf, penguatan ekosistem industri halal, dan penguatan literasi, regulasi, kelembagaan serta infrastruktur pendukung ekosistem ekonomi syariah. Aktivitas tersebut dapat kemudian dijadikan program dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan menjadi bahan bagi organisasi perangkat daerah dalam membuat program-program Pembangunan daerah yang selaras dengan visi dan misi ekonomi syariah untuk kesejahteraan masyarakat secara umum.