Oleh : Keyla Andrina (Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia)
REPUBLIKA.CO.ID, Etika publik menjadi hal dasar namun cukup berpengaruh dalam kehidupan bermasyarakat, terutama di era digital yang berubah dengan cepat. Ia mengatur hubungan antar individu tidak hanya di ruang fisik namun juga di dunia maya, dan semakin mempengaruhi kehidupan sosial.
Berdasarkan laporan We Are Social 2024, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 212 juta, dengan penetrasi media sosial mencapai 82,4 persen dari total populasi. Gambaran ini menunjukkan bahwa ruang digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Namun, seiring dengan meningkatnya interaksi di dunia maya, permasalahan etika publik menjadi semakin kompleks. Data Kominfo menunjukkan pada tahun 2023, akan ada lebih dari 100 ribu konten negatif, termasuk hoaks dan ujaran kebencian, yang tersebar di media sosial. Hal ini tentu menjadi perhatian bagaimana penggunaan etika publik dalam bersosial media di lingkup masyarakat Indonesia.
Salah satu tantangan besar dalam menjaga etika publik adalah maraknya disinformasi dan ujaran kebencian. Studi yang dilakukan oleh Asosiasi Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan bahwa 64 persen penipuan yang tersebar di Indonesia terkait dengan masalah politik dan kesehatan. Penyebaran informasi palsu tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga memicu konflik dan ketidakpercayaan di masyarakat. Untuk itu, pendidikan literasi digital menjadi kunci untuk membangun kesadaran etis masyarakat di dunia maya.
Pendidikan karakter berbasis data juga menjadi langkah strategis untuk memperkuat etika pelayanan publik. Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sekolah yang menerapkan pendidikan karakter berbasis etika dan moral mengalami penurunan tindakan disiplin hingga 30 persen selama dua tahun terakhir. Program tersebut menciptakan generasi yang lebih sadar akan pentingnya etika publik dengan menanamkan nilai-nilai integritas, tanggung jawab, dan menghargai orang lain sejak dini.
Penegakan hukum juga berperan penting dalam menjaga etika publik. Data kepolisian Indonesia menunjukkan peningkatan pelanggaran etika publik, termasuk vandalisme dan pelanggaran peraturan kesehatan, selama pandemi Covid-19. Upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten merupakan langkah efektif untuk memberikan pencegahan dan mendorong kepatuhan terhadap norma-norma sosial.
Namun undang-undang saja tidak cukup. Kesadaran kolektif masyarakat harus terus dibangun melalui kampanye publik berbasis data. Kampanye seperti “Filter Sebelum Berbagi” yang dilakukan Kominfo berhasil meningkatkan kesadaran literasi digital di kalangan pengguna media sosial hingga 25 persen. Kampanye-kampanye seperti ini perlu diperluas dan disesuaikan dengan keadaan setempat untuk mencapai hasil maksimal.
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat merupakan elemen kunci dalam menjaga etika publik. Meskipun pemerintah dapat memberikan peraturan yang mendukung praktik etis, sektor swasta, khususnya perusahaan teknologi, harus mengambil tanggung jawab untuk menciptakan platform yang aman dan etis. Masyarakat juga harus ikut andil dalam memantau dan melaporkan pelanggaran etika publik.
Di masa depan, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis data untuk menjaga etika publik. Dengan memanfaatkan teknologi dan analisis data, pemerintah dan lembaga dapat mengidentifikasi pola pelanggaran etika dan membuat kebijakan yang lebih efektif. Selain itu, pendidikan karakter berbasis data harus terus ditingkatkan agar generasi menyadari pentingnya etika publik baik dalam ruang fisik maupun digital.
Melalui upaya kolektif dan kesadaran kolektif berbasis data, etika publik dapat terus dijaga dan diperkuat, sehingga menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan bersih di era digital yang terus berkembang.