REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konferensi Para Pihak ke-29 tentang Perubahan Iklim (COP-29) yang semula diharapkan menjadi COP "Pendanaan Iklim" untuk mendukung negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi iklim, menghasilkan keputusan yang belum sesuai harapan. Negara-negara maju hanya sepakat memobilisasi pendanaan iklim sebesar 300 miliar dolar AS per tahun pada 2035, jauh di bawah target 1,3 triliun dolar AS yang diajukan negara-negara berkembang.
Meski berupaya memastikan komitmen semua pihak untuk mencapai pendanaan iklim bagi negara berkembang sebesar 1,3 triliun dolar AS per tahun pada tahun 2035, COP-29 tidak mewajibkan kontribusi penuh dari negara maju.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memandang proses dan hasil COP-29 mengecewakan banyak pihak dan mengikis kepercayaan terhadap proses multilateral. Menurutnya, upaya membatasi suhu bumi di 1,5 derajat Celcius merupakan masalah global yang memerlukan kerja sama internasional yang erat dan kuat.
“Dukungan pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas untuk negara berkembang dari negara maju menjadi faktor penting bagi peningkatan dan pencapaian aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim yang ambisius di negara berkembang. COP-29 seharusnya dapat menjamin tersedianya pendanaan yang memadai dan efektif bagi negara berkembang, seperti Indonesia,” kata Fabby dalam siaran pers IESR, Rabu (4/12/2024).
Dalam Media Briefing COP-29 pada Selasa (3/12/2024), Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi menjelaskan bahwa selain pendanaan, COP-29 juga menyepakati mekanisme untuk implementasi pasar karbon internasional melalui Paris Agreement Credit Mechanism (PACM) sesuai Pasal 6 Persetujuan Paris. Mekanisme ini memungkinkan perdagangan karbon antara perusahaan dari suatu negara dengan unit kredit karbon dari negara lain dengan memenuhi standar tertentu.
Selain itu, mekanisme ini juga memasukkan perlindungan wajib (mandatory safeguards) untuk lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang akan diawasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) (WEF, 2024). Aturan yang jelas dalam penerapan pasar karbon diperkirakan akan menghasilkan aliran keuangan sebesar 1 triliun dolar AS per tahun pada 2050 secara global merujuk laporan International Emission Trading Association (IETA) 2024. Namun, Arief menekankan pentingnya pandangan kritis terhadap keefektifan pasar karbon dalam mengurangi emisi secara nyata dan signifikan.
Selain Tujuan Kolektif Baru yang Kuantitatif dalam Pendanaan Iklim (New Collective Quantified Goal on Climate Finance, NCQG), COP-29 melahirkan beberapa kesepakatan pembiayaan iklim di antaranya Bank Pembangunan Multilateral, (Multilateral Development Banks, MDBs) sebesar 170 miliar dolar AS per tahun pada 2030, dengan 120 miliar dolar AS ditujukan untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Terdapat pula janji Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Funds) yang akan didistribusikan pada 2025 dengan total melebihi 730 juta dolar AS.
Arief menjelaskan Indonesia dapat memanfaatkan potensi pendanaan ini dengan menyelaraskan komitmen iklimnya dengan kebijakan nasional yang mendukung transisi ke energi terbarukan. Ia menekankan bahwa sektor energi merupakan sektor pengemisi terbesar kedua di Indonesia setelah tata guna lahan dan kehutanan.
Untuk menurunkan emisi dari sektor energi dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2050, diperlukan transisi penuh ke energi terbarukan pada yang diikuti dengan pensiun dini PLTU batu bara pada 2040. Perihal komitmen pensiun dini PLTU batu bara pada 15 tahun ke depan ini juga telah diungkapkan oleh Presiden Prabowo di KTT G20. Arief menyebut untuk mempercepat transisi energi maka diperlukan kebutuhan investasi untuk sebesar USD 20–40 miliar per tahun hingga 2050.
“Namun, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan hanya di bawah 2 miliar dolar AS per tahun pada periode 2017–2023. Pada 2022, pembiayaan dari sektor swasta meningkat hingga Rp26 triliun (sekitar 1,7 miliar dolar AS),” jelas Arief.
Staf Program Transisi Berkeadilan, IESR Muhammad Aulia Anis mengungkapkan kesenjangan pendanaan yang besar ini memerlukan lebih banyak sumber pembiayaan dari sektor publik dan swasta. IESR mengevaluasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2023, yang menjadi dasar alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung percepatan penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Menurut Aulia, meskipun PMK ini masuk dalam kategori "kuat" dari segi aspek hukum, aspek tata kelola, sumber pendanaan, kerangka pemantauan, dan evaluasinya masih tergolong "sedang." Untuk meningkatkan efektivitas tata kelola, IESR mendorong pemerintah untuk memberikan panduan dan target anggaran yang lebih jelas, meningkatkan transparansi publik terkait Platform Transisi Energi, memperkuat kerangka regulasi pasar, dan mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.