Rabu 11 Dec 2024 14:27 WIB

Tundra Arktik Kini Keluarkan Lebih Banyak Karbon

Pemanasan global berdampak ganda pada Arktik.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
(Ilustrasi) Luas es di Arktik semakin berkurang dan menyusut tiap tahunnya.
Foto: jpl.nasa.gov
(Ilustrasi) Luas es di Arktik semakin berkurang dan menyusut tiap tahunnya.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Badan Administrasi Atmosfer dan Laut (NOAA) Amerika Serikat (AS) mengatakan tingginya intensitas kebakaran hutan mengubah tundra Arktik secara dramatis. Ekosistem unik itu yang selama ribuan tahun menyerap karbon dioksida kini menjadi penghasil karbon dioksida.

Perubahan drastis tersebut dirinci dalam Kartu Laporan Arktik NOAA 2024. Laporan itu mengungkapkan suhu udara permukaan tundra Arktik tahun ini menjadi yang terpanas kedua sejak pencatat dilakukan pada tahun 1900.

“Observasi kami menunjukkan saat ini tundra Arktik, yang mengalami pemanasan dan peningkatan kebakaran hutan, mengeluarkan lebih banyak karbon daripada yang disimpannya, yang akan memperburuk dampak perubahan iklim,” kata administrator NOAA Rick Spinrad seperti dikutip dari the Guardian, Rabu (11/12/2024).

Laporan yang ditulis ilmuwan dari Woodwell Climate Research Center di Falmouth, Massachusetts, menemukan sudah 11 tahun berturut-turut Arktik memanas lebih cepat dari rata-rata global. Para penulis laporan mengatakan saat ini pemanasan Arktik empat kali lebih cepat dari rata-rata global.

Pemanasan global berdampak ganda pada Arktik. Pemanasan merancang pertumbuhan dan produktivitas tanaman yang menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Tapi juga menaikan suhu udara yang mencairkan lapisan es.

Ketika lapisan es mencair, karbon yang terperangkap dalam tanah beku diurai mikroba dan melepaskannya ke atmosfer sebagai karbon dioksida dan metana, dua gas rumah kaca yang kuat.

“Agar dapat mengatasi krisis ini secara efektif, kita memerlukan pengetahuan yang akurat, holistik, dan komprehensif tentang bagaimana perubahan iklim akan mempengaruhi jumlah karbon yang diserap dan disimpan Arktik, dan seberapa banyak yang dilepaskan kembali ke atmosfer,” kata ilmuwan di Woodwell Center, Sue Natali yang berkontribusi pada penelitian tersebut.

"Laporan ini merupakan langkah penting menuju kuantifikasi emisi ini dalam skala besar," tambahnya.

Perubahan iklim yang dipicu aktivitas manusia juga mengintensifkan kebakaran hutan, memperluas lahan yang terbakar dan meningkatkan pelepasan karbon. Kebakaran hutan tidak hanya membakar vegetasi (tanaman) dan bahan organik di tanah, tetapi juga memiliki efek yang lebih luas.

Ketika vegetasi dan bahan organik terbakar, karbon yang tersimpan dalam bentuk gas karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer. Hal ini berkontribusi pada peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang dapat memperburuk perubahan iklim.

Kebakaran juga menghilangkan lapisan tanah yang berfungsi sebagai isolator. Lapisan ini penting untuk menjaga lapisan es tetap beku. Dengan hilangnya lapisan isolasi tersebut, lapisan es akan mencair lebih cepat. Pencairan lapisan es ini dapat melepaskan lebih banyak karbon yang sebelumnya terperangkap di dalamnya, sehingga menambah emisi karbon ke atmosfer.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kami melihat bagaimana peningkatan aktivitas kebakaran akibat perubahan iklim mengancam masyarakat dan karbon yang tersimpan di lapisan es, tetapi sekarang kami mulai dapat mengukur dampak kumulatif terhadap atmosfer, dan ini sangat signifikan,” kata ilmuwan Iklim Woodwell yang turut berkontribusi dalam laporan tersebut, Brendan Rogers.

Menurut NOAA, sejak tahun 2003, emisi dari kebakaran hutan di wilayah kutub utara rata-rata mencapai 207 juta ton karbon setiap tahunnya. Sementara itu, ekosistem darat Arktik tetap menjadi sumber metana yang stabil.

"Bencana iklim yang terlihat di Arktik telah memberikan dampak bagi masyarakat di seluruh dunia,” ungkap Brenda Ekwurzel, seorang ilmuwan iklim di Union of Concerned Scientists.

"Tanda mengkhawatirkan mengenai pelepasan sumber karbon bersih yang terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan sebelumnya bukanlah berita baik. Setelah ambang batas tertentu tercapai, banyak dampak negatif terhadap ekosistem yang tidak dapat diubah lagi," tambahnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement