Kamis 12 Dec 2024 11:51 WIB

Refleksi Milad Ketujuh BPKH: Satu Tujuan Menuju Dana Haji Berkelanjutan

BPKH harus terus berinovasi dalam pengelolaan dana dan memperkuat tata kelolanya.

Jamaah haji melakukan sujud syukur saat tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Ahad  (23/6/2024). (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Arnas Padda
Jamaah haji melakukan sujud syukur saat tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, Ahad (23/6/2024). (ilustrasi)

Oleh : Indra Gunawan, dosen Universitas Islam Internasional Indonesia, Alumni Lemhannas PPSA XXIV dan Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027*

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tujuh tahun sejak Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) resmi beroperasi, anak bangsa dapat merayakan serangkaian pencapaian monumental dalam pengelolaan keuangan haji. Keberhasilan BPKH meraih predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) enam tahun berturut-turut, yang mencerminkan ukuran kualitatif transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik dari BPK RI harus diikuti oleh capain kuantitatif nominal yang fenomenal.

Estimasi akhir Desember 2024 dana haji yang dikelola BPKH akan mencapai Rp170 triliun, yang terdiri dari biaya penyelenggaraan Ibadah haji sebesar Rp 163 triliun dan Dana Abadi Umat (DAU) mendekati Rp4 triliun. Nilai Manfaat BPKH di akhir 2024 nanti diestimasi akan tembus di atas Rp 11.4 triliun. Trend ini meningkat pesat karena pada tahun 2023 masih di level Rp10,9 triliun sementara 2022 hanya di Rp10,13 triliun. Fakta bahwa dana kelolaan haji terus meningkat serta Nilai Manfaat yang selalu mencapai rekor tertinggi beb tahun beberapa tahun ini menjadi bukti nyata bagaimana BPKH mampu memaksimalkan dana umat untuk kemaslahatan bersama. Dana awal berasal dari individual jamaah (private fund) kemudian mampu menimbulkan positive externalities dengan menjangkau banyak kemanfaatan dan kemaslahatan (public goods and utilities) bagi sarana dan prasarana keumatan dan bangsa berkualitas, alhamdulillah syukur kami bahwa secara kuantitas juga tumbuh signifikan.

Dari tahun ke tahun, tema rencana strategis (renstra) pengelolaan dana dan keuangan haji senantiasa menginspirasi kinerja BPKH, misalnya Capabilities Enhancement yang perlu dicapai di tahun 2024 ini, meliputi: program pengembangan SDM yang komprehensif dan berbasis kompetensi, mengimplementasikan  pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan kapabilitas  secara organik maupun  anorganik. Kemudian tahun depan di 2025 beranjak kepada peningkatan quality service, melalui formula dan  strategi pengelolaan entitas usaha untuk mendukung tercapainya tujuan pengembangan  usaha (termasuk strategi  cost hedging untuk rasionalisasi dan efisiensi  penggunaan BPIH) terus melakukan optimasi  distribusi dana  kemaslahatan sesuai amanah UU No. 34/2014.

Kelak di 2026 ada semangat meningkatkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan keuangan haji melalui tata kelola yang baik, mengelola keuangan  sesuai dengan  aturan yang  ditentukan. Tema renstra BPKH berikutnya adalah di tahun 2027 mencapai kualitas Badan yang “Tepercaya dan Berkelas Dunia” dibuktikan melalui tingkat kepercayaan publik yang tinggi, penerapan tata kelola yang baik, serta pengelolaan entitas  usaha yang efektif baik di dalam dan luar negeri. Sebelum menapaki renstra demi renstra dalam menjawab tantangan ke depan, alangkah baiknya kita berefleksi kepada sejarah pengelolaan keuangan haji di Nusantara yang mengalami pasang-surut dan bongkar-pasang kelembagaan bagi perbaikan tata Kelola.

Sejarah Penyelenggaraan dan Keuangan Haji di Indonesia

Pengelolaan keuangan haji di Indonesia memiliki sejarah panjang yang berakar sejak era Belanda dan Jepang, hingga kemerdekaan, era reformasi bahkan pascareformasi saat ini. Manajemen haji nusantara mengalami dinamika sosial, ekonomi, dan politik. Catatan yang ada bagi perjalanan haji dimulai dari Belanda datang ke Nusantara tahun 1596 lanjut dengan era VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) di tahun 1602. VOC mempersulit keberangkatan haji penduduk pribumi, memblokade mereka ikut kapal VOC, bahkan VOC juga beberapa kali melarang para jamaah  haji yang pulang dari Mekkah mendarat di Batavia.

Kebijakan ini politis dan inkonsisten, sebab sangat tergantung pada lobi VOC guna menarik simpati dari Kesultanan Mataram. Kemudian muncul era armada kapal dagang milik individu dan swasta, seperti Syekh Umar Bugis dan Syekh Abdul Karim yang sering kali menimbulkan masalah, seperti penelantaran jamaah oleh agen Herklots dan eksploitasi buruh oleh firma Assegaf & Co. Ada juga praktik monopoli pengangkutan jamaah haji dengan Kongsi Tiga yang ujungnya bermasalah.

Pasca-kemerdekaan, penyelenggaraan haji menghadapi tantangan besar seperti blokade Belanda dan keterbatasan infrastruktur. Pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1950, pemerintah mulai menata tata kelola haji dengan membentuk Panitia Perbaikan Perjalanan Haji Indonesia (P3H) dan mulai ada batasan kuota haji untuk mengatasi keterbatasan sumber daya. Tidak terpisahnya aspek finansial dan operasional menimbulkan tantangan serius. Di satu sisi, pembentukan Bank Haji Indonesia (BHI) pada 1952 menunjukkan inisiasi positif dalam mengelola dana haji secara profesional. Di sisi lain, masih terjadinya praktik kecurangan seperti jual-beli kuota dan pemerasan calon jamaah haji memperlihatkan kelemahan tata kelola operasional.

Setelah P3H kemudian muncul era Departemen Urusan Haji (DUHA) di tahun 1960-an, pula ada beberapa lembaga dibentuk dan akhirnya  dibubarkan akibat miss-management penyelewengan keuangan dan penyelenggaraan. Pada 1961, pemerintah membekukan Perhimpunan Haji Indonesia (PHI) menandai perbaikan manajemen haji yang lebih terstruktur. P3H yang kemudian digantikan oleh Dewan Urusan Haji (DUHA) lalu mendirikan PT. Arafat sebagai entitas bisnis transportasi haji (kapal laut) dimana lagi-lagi faktor dana yang dikelola penyelenggara menjadi ihwal momok masalah. Saham PT Arafat diambil dari dana setoran Jemaah haji tanpa pengawasan yang terpisah dan independen, biaya perjalanan haji (ONH) terus meningkat drastis akibat inflasi.

Seiring masalah tata Kelola yang menyebabkan PT Arafat harus dinyatakan pailit. Pokok masalah adalah adanya campur aduk kewenangan operasional dan finansial yang kerap menghambat efisiensi. Pemisahan aspek penyelenggaraan dan keuangan sangat urgen untuk meningkatkan akuntabilitas, mencegah Korupsi-Kolusi-Nepotisme, dan memastikan keberlanjutan pengelolaan keuangan haji yang lebih profesional dan transparan. Pada 1965, tugas penyelenggaraan haji diserahkan kepada Departemen Urusan Haji yang kemudian berubah menjadi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah di bawah Kementerian Agama.

Berbagai perubahan kebijakan terus berlangsung. Tahun 1999 menjadi titik balik dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999, yang mengedepankan transparansi serta melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan ibadah haji. Sistem informasi terintegrasi, seperti Siskohat dan SIPATUH mulai diterapkan untuk mempermudah proses administrasi calon jamaah haji. Puncaknya, pada tahun 2014, Undang-Undang Nomor 34 tentang Pengelolaan Keuangan Haji melahirkan BPKH.

Tantangan Ponzi dan Disrupsi Haji

Meski berbagai pencapaian telah diraih, tantangan besar di masa depan harus segera diantisipasi. Salah satu tantangan paling serius adalah kemungkinan terjadinya dua kali musim haji dalam satu tahun pada 2027, akibat irisan kalender Hijriah dan Masehi. Hal ini berpotensi menggandakan tagihan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) hingga mencapai Rp 42 triliun per tahun, yang dapat mengurangi dana kelolaan BPKH secara signifikan. Jika dana BPKH saat ini sebesar Rp170 triliun digunakan untuk menutupi 2 kali BPIH di 2027 nanti maka akan terjadi penurunan dana yang cukup drastis, menyisakan sekitar Rp 128 triliun saja. Lebih mengkhawatirkan lagi, dengan jumlah calon jamaah haji yang saat ini mencapai 5,4 juta orang dan biaya haji per jamaah sekitar Rp 93,4 juta, total future liabilities diperkirakan mencapai hampir Rp 504 triliun. Sementara dana kelolaan BPKH hanya Rp170 triliun tentu muncul unfunded liabilities ratusan triliun potensi risiko ponzi yang akan berdampak serius pada stabilitas keuangan nasional dan industri keuangan. Pola ini kemungkinan dapat terjadi apabila pembayaran Nilai Manfaat dan biaya haji hanya mengikuti tradisi pembayaran tagihan BPIH secara agregat.  

Solusinya memang harus dikembalikan kepada perintah  UU No. 34 Tahun 2014, khususnya Pasal 10 (f) dan Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3), dimana BPKH diberikan tanggung jawab untuk mengelola nilai manfaat dari setoran haji dengan mendistribusikan nilai manfaat tersebut secara berkala ke rekening virtual jemaah haji berdasarkan persentase yang disetujui oleh DPR. Hal ini memberikan keadilan dan manfaat nyata bagi semua jemaah, baik yang menunggu antrean maupun yang telah berangkat. Nilai Manfaat Virtual Acount (NMVA) perindividual Jamaah antri telah ditunaikan sebesar hampir Rp14 triliun selama tujuh tahun BPKH eksis kepada jemaah tunggu. Ini adalah bukti nyata amanah UU No 34/2014 Pasal 10 (f) dan Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) tadi dan memberikan keadilan bagi seluruh Jemaah tunggu. Pola ini dapat idealnya seperti dividen atau Sisa Hasil Usaha (SHU) dalam koperasi. Adapun praktek yang juga dikritik oleh Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII No. 09/Ijtima Ulama/VIII/2024 adalah besaran distribusi Nilai Manfaat kepada jemaah yang berangkat selalu lebih besar, yang akumulasi totalnya sudah mencapai Rp 35,1 triliun.

Ke depan, distribusi nilai manfaat akan semakin berkeadilan dengan pendekatan Money Value of Time (MVT). Sistem ini menghitung nilai manfaat berdasarkan masa tunggu, sehingga jemaah yang menunggu lebih lama akan menerima manfaat yang lebih besar. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan prinsip keadilan, tetapi juga menghargai kontribusi jamaah dalam sistem keuangan haji.BPKH juga mendorong akselerasi nilai manfaat melalui pola top-up. Sebagai contoh, dengan menambah Rp1 juta per bulan dan asumsi nilai manfaat 6 persen per tahun, saldo jamaah dapat berkembang hingga Rp 165 juta dalam 10 tahun. Ini adalah strategi yang menyerupai perencanaan keuangan modern, memberikan peluang bagi jamaah untuk mempersiapkan keberangkatan dengan lebih terukur dan optimal, selain dapat menjadi opsi Tabungan/investasi halal. Kemampuan finansial untuk menunaikan haji adalah syarat yang ditegaskan dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 97. Dengan pengelolaan yang amanah dan inovatif, BPKH membantu jemaah memenuhi syarat tersebut sekaligus memastikan bahwa ibadah suci ini dapat direncanakan dengan lebih baik.

Tantangan lain adalah antrian haji yang sangat panjang, dengan rata-rata waktu tunggu mencapai 25 tahun. Kuota normal haji Indonesia yang ditetapkan oleh Kerajaan Arab Saudi sebesar 221 ribu jamaah per tahun tidak sebanding dengan jumlah pendaftar yang terus bertambah. Tantangan ini diperparah dengan perubahan pola visa haji dari sistem G to G (Government to Government) menjadi B to B (Business to Business). Reformasi haji di bawah Visi 2030 Arab Saudi membawa perubahan besar, termasuk pengelolaan berbagai jenis visa haji. Visa ziarah (turis) memungkinkan ibadah haji di luar kuota reguler, Visa iqamah memudahkan ekspatriat di Arab Saudi untuk berhaji (termasuk dari Indonesia), namun menambah kepadatan fasilitas sementara Visa mujamalah diberikan untuk tamu khusus, namun transparansinya sering dipertanyakan. Reformasi ini disruptif karena di luar yurisdiksi yang diatur pemerintah sehingga mitigasinya adalah peran investasi Business to Business diberi kewenangan yang lebih dominan dibandingkan dengan pola pengadaan rutin biasa.

Ekstensi lembaga yang memiliki mandat untuk mengintegrasikan kewenangan pengelolaan dana halal lainnya, yakni bukan hanya haji tapi juga tabungan umrah, wakaf, zakat infaq, shadaqah, hadyu, nazar, kifarat dan sebagainya semakin mendesak. Potensi dana non-APBN ini sangat besar bahkan diprediksi bisa mencapai hingga lebih dari Rp 1.000 triliun melalui skema sovereign halal and creative financing fund yang inovatif dengan tata Kelola terbaik.. Selain dana, sebenarnya BPKH memiliki potensi besar sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Dana dan Aset Hibah juga Wakaf, preseden baik ini ada pada saat BPKH menjelma menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Muamalat setelah menerima hibah saham dari yakni Islamic Development Bank (IsDB) dan SEDCO Group pada tanggal 15 dan 16 November 2021 lalu sebanyak 7.903.112.181 saham atau setara dengan 77,42 persen. Dana dan aset semacam ini ini dapat menjadi pool of fund guna dimanfaatkan untuk berbagai pembiayaan proyek yang berorientasi pada kemaslahatan umat, seperti pembangunan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi berbasis syariah. Langkah ini tidak hanya akan memberikan nilai tambah bagi umat, tetapi juga memperkuat dana dan aset halal umat yang berperan strategis dalam mendukung perekonomian nasional.

Satu Tujuan Menuju Dana Global Berkelanjutan

Dana kelolaan BPKH yang dulu diserahterimakan dari Kemenag RI masih di kisaran Rp 100 triliun telah berkembang berkah merekah hingga Rp170 triliun pada akhir tahun 2024. Dana haji yang disimpan dalam bentuk Sukuk Negara dijamin oleh UU No. 19/2008 yang mengatur tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dimana terdapat banyak utilities/public goods serta sarana prasarana keumatan yang dibangun dari aset Barang Milik Negara (BMN) yang dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN. Sementara dana setoran Jemaah yang ditempatkan pada deposito di Bank Syariah dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kedua instrument di atas mendapat insentif dengan pajak yang telah dikecualikan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 dan UU No. 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).

Kekuatan tata kelola keuangan haji saat ini terletak pada pengelolaan dana yang lebih profesional melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), yang memaksimalkan investasi dana haji untuk mendukung kesejahteraan umat. Namun, kelemahannya adalah masih adanya potensi konflik kepentingan jika aspek finansial dan operasional belum secara konsisten dipisahkan secara tegas.

Untuk menghadapi tantangan besar tersebut, BPKH harus terus berinovasi dalam pengelolaan dana dan memperkuat tata kelolanya. Penguatan regulasi, diversifikasi portofolio investasi, serta peningkatan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri, harus menjadi fokus utama. Dengan berbagai langkah strategis ini, Indonesia diharapkan dapat mewujudkan visinya sebagai Sovereign Halal Fund yang tidak hanya mengelola keuangan haji secara profesional, tetapi juga potensi dana halal lain yang dapat memberikan kontribusi signifikan bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan umat sejajar yang mengglobal, dengan Lembaga Tabung Haji Malaysia, Public Investment Fund (PIF) Arab Saudi bahkan Abu Dhabi Investment Authority yang asetnya di atas ratusan miliar dollar. Dengan semangat tujuh tahun yang penuh prestasi dan tantangan, BPKH berada pada posisi yang strategis untuk menghadapi masa depan dengan optimisme dan kesiapan menghadapi tantangan global. Transparansi, akuntabilitas, dan inovasi akan menjadi kunci kesuksesan BPKH dalam menjalankan amanah sebagai pengelola keuangan haji yang terpercaya dan berdaya saing. Mohon BPKH dikritisi sambil didoakan agar Allah senantiasa menjaga dan memberkahi dana haji agar selalu Aman, Adil dan Abadi (AAA). 

*Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement