REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Dua tahun terakhir menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam sejarah. Seluruh ilmuwan sepakat pembakaran bahan bakar fosil faktor terbesar pemanasan global. Sementara, variabilitas iklim alami juga dapat mempengaruhi suhu udara di tahun berikutnya.
Namun, mereka masih berdebat apa yang paling banyak berkontribusi atas kenaikan suhu dua tahun terakhir. Sejumlah pakar menilai perubahan pola awan, polusi udara, dan menurunnya kemampuan bumi menyimpan karbon dapat menjadi faktornya. Akan tetapi, butuh satu atau dua tahun lagi untuk mendapatkan gambaran menyeluruh.
"Pemanasan tahun 2023 jauh lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya, dan 2024 juga terjadi hal yang sama. Saya harap saya tahu mengapa itu terjadi, tapi saya tidak tahu, kami masih dalam proses menilai apa yang terjadi dan apakah yang kami lihat merupakan perubahan bagaimana sistem iklim bekerja," kata direktur Institut Kajian Antariksa Goddard, NASA, Gavin Schmidt, seperti dikutip France24, Senin (16/12/2024).
Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida yang memerangkap panas di dekat permukaan bumi. Emisi bahan bakar fosil tahun 2023 tembus rekor. Rata-rata permukaan air laut dan suhu udara naik dengan konsisten selama beberapa dekade. Namun Organisasi Meteorologi PBB (WMO) mengatakan suhu panas antara Juni 2023 sampai September 2024 tidak pernah terjadi sebelumnya.
Suhu sangat tinggi hingga 2023 dan 2024 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat. "Suhu panas yang memecahkan rekor dua tahun terakhir, membawa planet bumi ke wilayah yang tak terpetakan," kata ilmuwan iklim University of Reading, Inggris, Richard Allan.
View this post on Instagram
Pakar iklim dari ETH Zurich, Swiss, Sonia Seneviratne mengatakan apa yang terjadi berada di batas dari apa yang bisa diperkirakan berdasarkan model iklim yang ada. Namun, kecenderungan pemanasan jangka panjang secara keseluruhan tidaklah mengejutkan mengingat jumlah bahan bakar fosil yang dibakar.
Para ilmuwan mengatakan variabilitas iklim juga dapat menjelaskan apa yang terjadi. Sebelum tahun 2023, terjadi fenomena langka La Nina yang memiliki dampak pendinginan pada bumi berlangsung selama tiga tahun, mendorong kelebihan panas ke lautan dalam.
Panas ini dilepaskan kembali ke permukaan ketika peristiwa El Nino yang bersifat sebaliknya dengan menghangat permukaan laut terjadi pada pertengahan tahun 2023, sehingga meningkatkan suhu global. Namun, suhu panas masih bertahan bahkan setelah El Nino mencapai puncaknya pada Januari.
Suhu tidak turun dengan kecepatan saat kenaikannya dan November tahun ini menjadi November terpanas kedua yang pernah tercatat. "Sulit menjelaskan hal ini saat ini, bila tidak ada penurunan besar pada tahun 2025, kita harus benar-benar bertanya pada diri kita sendiri apa penyebabnya," kata anggota pakar Badan Perubahan Iklim PBB (IPCC) Robert Vautard.
Ilmuwan masih mencari tahu penyebab suhu panas selama dua tahun terakhir. Salah satu teorinya adalah peralihan global ke bahan bakar kapal yang lebih bersih pada tahun 2020 mempercepat pemanasan dengan mengurangi emisi sulfur. Emisi sulfur ini sebelumnya membuat awan lebih reflektif terhadap sinar matahari, sehingga mengurangi panas yang mencapai permukaan bumi.
Pada bulan Desember, penelitian lain mencari tahu apakah berkurangnya awan rendah menyebabkan lebih banyak panas yang mencapai permukaan bumi. Di konferensi American Geophysical Union bulan ini, Schmidt mengumpulkan para ilmuwan untuk mengeksplorasi teori-teori ini dan teori-teori lainnya, termasuk apakah siklus matahari atau aktivitas gunung berapi memberikan petunjuk atas kenaikan suhu.
Terdapat kekhawatiran bahwa jika tanpa gambaran lengkap, para ilmuwan tidak dapat memahami perubahan iklim lebih mendalam dan transformatif. "Kami tidak dapat membuang sejumlah faktor lain juga memperkuat suhu, keputusannya masih belum jelas," kata Seneviratne.
Tahun ini ilmuwan memperingatkan penyerap karbon seperti hutan dan laut yang menyerapkan karbon dioksida dari atmofer mengalami "perlemahan yang tidak pernah terjadi sebelumnya" pada tahun 2023. Pada bulan ini, Badan Kelautan dan Atmosfer AS mengatakan tundra Arktik yang selama ini menjadi penyerap karbon menjadi pelepas karbon.