Selasa 17 Dec 2024 19:20 WIB

Kenaikan PPN Saat Ekonomi Tertekan, Inspirasi Teori Pajak Ibn Khaldun

Pemerintah berencana mengalihkan subsidi ini agar lebih tepat sasaran.

Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah; Dosen FEB UMJ

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia memasuki akhir tahun 2024 dengan kondisi ekonomi yang penuh tantangan. Pertumbuhan ekonomi, inflasi, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), serta beban subsidi pemerintah menjadi gambaran kompleks tentang tekanan yang sedang dihadapi. Di tengah situasi ini, rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 menjadi kebijakan yang memicu perdebatan.

Apakah langkah ini akan memperkuat perekonomian nasional atau justru memperburuk situasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat kondisi ekonomi terkini dengan cermat, lalu menganalisisnya melalui teori pajak Ibn Khaldun yang tetap relevan hingga saat ini.

Pada triwulan III tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,95 persen (y-on-y), lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Meskipun sektor konstruksi tumbuh cukup tinggi sebesar 7,48 persen, sektor-sektor lain menunjukkan kinerja yang kurang menggembirakan.

Industri pengolahan, yang menjadi tulang punggung ekspor dan lapangan kerja, hanya tumbuh sebesar 4,72 persen, sementara perdagangan hanya mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,82 persen. Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang berkontribusi besar pada PDB hanya tumbuh 4,91 persen, mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat. Situasi ini diperburuk oleh lonjakan impor sebesar 11,47 persen yang jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor sebesar 9,09 persen, menunjukkan ketergantungan besar pada barang-barang impor di tengah lemahnya permintaan domestik.

Inflasi tahunan pada Oktober 2024 tercatat di angka 1,71 persen, dengan inflasi inti sebesar 2,21 persen. Meskipun angka ini tampak rendah, hal tersebut lebih mencerminkan lemahnya permintaan masyarakat daripada keberhasilan pengendalian harga. Penyusutan kelas menengah sebesar 4 persen (atau sekitar 11 juta orang) dibandingkan tingkat sebelum pandemi menjadi sinyal serius melemahnya fondasi ekonomi domestik.

Kelompok yang berada pada kategori aspiring middle class, yang mencakup 20,85 persen populasi, berada pada risiko besar untuk jatuh kembali ke kategori rentan, yang kini mencapai 41,54 persen dari total populasi. Lemahnya daya beli ini semakin terasa berat ketika harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, dan bahan bakar mengalami kenaikan, yang juga berkontribusi terhadap inflasi.

Pada saat yang sama, angka PHK terus meningkat. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan sektor industri pengolahan mencatat lebih dari 28.000 PHK, terutama di subsektor tekstil dan garmen yang terdampak penurunan permintaan global. Sektor jasa, termasuk perhotelan dan layanan kesehatan, mencatat 15.000 PHK, sementara sektor perdagangan besar dan e-commerce kehilangan lebih dari 8.000 tenaga kerja akibat perubahan pola konsumsi masyarakat ke platform digital.

Provinsi-provinsi dengan angka PHK tertinggi adalah DKI Jakarta (14.501 pekerja), diikuti Jawa Barat (12.489) dan Jawa Tengah (10.702). Data ini menegaskan bahwa dunia usaha sedang menghadapi tekanan berat, yang semakin parah dengan konsumsi domestik yang lemah dan daya saing yang tergerus.

Tekanan ini diperburuk oleh beban subsidi energi dalam APBN 2024 yang mencapai Rp 407 triliun, mencakup subsidi listrik sebesar Rp 181,63 triliun, BBM sebesar Rp 138,5 triliun, dan LPG sebesar Rp 87 triliun. Pemerintah berencana mengalihkan subsidi ini agar lebih tepat sasaran, tetapi langkah ini memicu risiko tambahan berupa kenaikan biaya hidup bagi masyarakat yang bergantung pada subsidi untuk kebutuhan pokok. Dalam situasi di mana daya beli melemah dan angka PHK tinggi, pengalihan subsidi yang dilakukan bersamaan dengan kenaikan PPN dapat menciptakan tekanan ganda pada masyarakat dan dunia usaha.

Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen pada 2025 memang memiliki tujuan strategis, yaitu meningkatkan penerimaan negara untuk menopang pembangunan dan menutup defisit anggaran. Namun, sebagai pajak konsumsi, PPN bersifat regresif, yang artinya lebih membebani kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok berpenghasilan tinggi. Dalam konteks ini, teori pajak Ibn Khaldun memberikan perspektif yang relevan untuk memahami potensi risiko dan peluang dari kebijakan ini.

Dalam Muqaddimah, Ibn Khaldun menjelaskan bahwa pajak yang terlalu tinggi dapat menekan produktivitas masyarakat, melemahkan insentif untuk bekerja dan berusaha, serta pada akhirnya menurunkan pendapatan negara. Sebaliknya, tarif pajak yang moderat dapat mendorong aktivitas ekonomi, memperluas basis pajak, dan meningkatkan pendapatan negara secara berkelanjutan.

Ibn Khaldun juga mencatat pada awal berdirinya sebuah dinasti, pajak yang rendah cenderung mendorong produktivitas masyarakat sehingga menghasilkan pendapatan besar. Namun, seiring waktu, ketika penguasa menaikkan tarif pajak untuk memenuhi kebutuhan fiskal yang meningkat, produktivitas menurun, dan pada akhirnya pendapatan negara juga merosot.

Inspirasi dari Teori Pajak Ibn Khaldun

Dalam sejarah ekonomi dunia, Ibn Khaldun adalah seorang pemikir yang jauh melampaui zamannya. Melalui karya monumentalnya Muqaddimah, ia memperkenalkan konsep hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara yang kemudian dikenal oleh dunia modern sebagai Kurva Laffer. Konsep ini memberikan pelajaran mendalam bahwa kebijakan fiskal tidak sekadar persoalan angka dan tarif, tetapi juga tentang keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan ekonomi.

Arthur Laffer sendiri mengakui teori yang ia populerkan pada 1974 bukanlah sesuatu yang baru. Ia dengan jujur merujuk pada pemikiran Ibn Khaldun, yang pada abad ke-14 telah menulis “pajak yang terlalu tinggi akan menekan produktivitas, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya justru mengurangi pendapatan negara”. Dalam kata-kata Ibn Khaldun: "Harus diketahui bahwa pada awal pemerintahan, pajak memberikan hasil yang besar dari penilaian kecil. Di akhir pemerintahan, pajak memberikan hasil yang kecil dari penilaian yang besar." (Muqaddimah, 1377)

Makna dari ungkapan ini sangat relevan dalam konteks kebijakan pajak modern, termasuk dalam rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia. PPN, sebagai pajak konsumsi, memiliki karakter regresif yang cenderung lebih membebani masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan mereka yang lebih mampu secara ekonomi. Jika tarif PPN dinaikkan tanpa mempertimbangkan kapasitas daya beli rakyat, ekonomi nasional justru berpotensi terperangkap dalam spiral kontraproduktif.

Dalam teori Ibn Khaldun, pajak bukan sekadar alat pemungutan, tetapi juga pendorong produktivitas. Pajak yang tinggi menciptakan ketidakpastian dan rasa ketidakadilan di kalangan masyarakat. Sebaliknya, pajak yang moderat memberikan ruang bagi masyarakat untuk tumbuh, bekerja, dan berinvestasi dalam ekonomi.

Dalam konteks ini, penting untuk memahami kenaikan tarif PPN yang direncanakan menjadi 12 persen pada tahun 2025 harus dilihat melalui lensa keseimbangan antara beban fiskal pemerintah dan kapasitas ekonomi masyarakat. Seperti yang dijelaskan dalam kajian ekonomi modern, pajak yang terlalu tinggi menciptakan apa yang disebut "efek distorsi", di mana masyarakat dan pelaku usaha enggan untuk bekerja lebih keras, mengembangkan usaha, atau melaporkan pendapatan mereka secara jujur. Dengan kata lain, basis pajak menyusut karena motivasi ekonomi masyarakat melemah.

Sebagai contoh, dalam kajian yang dilakukan oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), ditemukan bahwa kurva pajak berbentuk U terbalik secara konsisten muncul dalam berbagai konteks ekonomi, baik di negara maju seperti Amerika Serikat maupun di negara-negara berkembang seperti Brasil dan India. Artinya, pada titik tertentu, kenaikan pajak tidak hanya mengurangi insentif ekonomi tetapi juga menurunkan penerimaan pajak secara keseluruhan.

Ibn Khaldun memahami konsep ini jauh sebelum ekonom modern mencatatnya dalam model matematis. Ia menulis bahwa pajak yang tinggi memaksa individu untuk mencari celah untuk menghindari pajak atau bahkan menghentikan aktivitas produktif mereka sama sekali. Pada akhirnya, negara tidak hanya kehilangan potensi pajak, tetapi juga kehilangan kepercayaan rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil.

Dalam konteks Indonesia, konsep ini menuntut pemerintah untuk tidak hanya fokus pada kenaikan tarif PPN, tetapi juga pada efektivitas redistribusi fiskal. Pendapatan tambahan yang diperoleh dari kenaikan PPN harus diarahkan pada program-program sosial yang benar-benar melindungi masyarakat miskin dan kelas menengah bawah.

Subsidi untuk kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, telur, terigu, gas rumah tangga dan bahan bakar tidak boleh dihapus begitu saja, tetapi perlu disalurkan secara tepat sasaran agar tidak menjadi beban tambahan bagi rakyat yang sudah rentan. Jika pemerintah berhasil mendesain program redistribusi yang efektif, maka dampak dari kenaikan PPN dapat diminimalkan, bahkan menjadi instrumen pembangunan yang produktif.

Selain itu, pemerintah harus meminimalkan kebocoran pajak melalui pengawasan yang lebih ketat dan sistem perpajakan yang transparan. Penelitian tentang struktur pajak di berbagai negara menunjukkan bahwa basis pajak yang luas dengan tarif pajak moderat akan memberikan hasil yang jauh lebih optimal dibandingkan sistem perpajakan dengan tarif tinggi namun dengan kepatuhan pajak yang rendah.

Dalam teori ekonomi, tingkat pajak optimal adalah titik di mana tarif pajak tidak terlalu rendah sehingga negara tidak kehilangan potensi penerimaan, tetapi juga tidak terlalu tinggi sehingga tidak mematikan aktivitas ekonomi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga seperti OECD dan Bank Dunia, negara-negara yang berhasil mencapai titik optimal ini cenderung memiliki tingkat penerimaan pajak yang stabil dan ekonomi yang lebih kompetitif.

Namun, tingkat optimal ini tidak dapat dipukul rata di semua negara. Faktor-faktor seperti daya beli masyarakat, kapasitas ekonomi, tingkat pendidikan, dan stabilitas sosial harus menjadi bahan pertimbangan utama dalam menetapkan kebijakan fiskal. Ibn Khaldun telah menekankan bahwa pemerintah yang bijaksana harus memperhatikan "keseimbangan antara kebutuhan negara dan kemampuan rakyat", yang dalam ekonomi modern dapat dipahami sebagai konsep keadilan distributif.

Dalam konteks kenaikan PPN di Indonesia, pemerintah perlu belajar dari teori Ibn Khaldun bahwa pajak bukan sekadar angka, tetapi kontrak sosial antara negara dan rakyatnya. Pajak yang tinggi tanpa jaminan kesejahteraan akan dianggap sebagai beban yang tidak adil. Sebaliknya, pajak yang dikelola dengan baik dan didistribusikan dengan adil akan menciptakan kepercayaan, produktivitas, dan stabilitas sosial.

Pendapatan dari PPN harus diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang produktif, subsidi energi yang tepat sasaran, subsidi kebutuhan pokok dan insentif untuk dunia usaha kecil dan menengah (UMKM) agar ekonomi dapat tumbuh secara inklusif. Transparansi dan akuntabilitas juga menjadi kunci penting agar kebijakan ini tidak hanya menjadi beban tambahan bagi rakyat, tetapi juga menjadi solusi nyata bagi perekonomian nasional.

Seperti yang diperingatkan oleh Ibn Khaldun berabad-abad lalu:

"Pemerintah yang adil adalah yang mengumpulkan pajak tanpa mematikan semangat rakyat untuk hidup dan bekerja. Di sanalah letak kekuatan sebuah bangsa."

Dengan memahami pelajaran ini, kebijakan fiskal Indonesia dapat diarahkan pada keseimbangan antara pendapatan negara yang optimal dan kesejahteraan masyarakat yang terjamin, sebagaimana dicita-citakan oleh Ibn Khaldun dan dikembangkan lebih jauh dalam teori ekonomi modern.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement