Rabu 18 Dec 2024 15:34 WIB

2025, Indonesia Harus Percepat Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi dan Listrik

Hingga 2030 mendatang, Indonesia harus mereduksi emisi hingga 75 persen

Wahyu Bawono Arum Aji holds a sign reading
Foto: AP Photo/Peter Dejong
Wahyu Bawono Arum Aji holds a sign reading

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masih mempunyai tantangan besar dan pekerjaan rumah dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Dalam laporan Climate Anlytics, Indonesia perlu menurunkan emisi hingga 75% dari total emisi pada 2015 di tahun 2030 mendatang.

Presiden RI Prabowo Subianto menegaskan komitmen Indonesia dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau bahkan lebih cepat pada 2050. Target yang ambisius ini perlu instrumen yang tepat dan roadmap yang realistis.

Climate Anlytics mencatat, Indonesia saat ini memperkuat instrumen sektor pemanfaatan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kehutanan atau Land Use, Land-Use Change, and Forestry (LULUCF) untuk bisa mengejar target pengurangan emisi.

"Namun, tanpa LULUCF atau di sektor lain seperti transportasi dan sektor kelistrikan juga harus turun emisinya 0-28% pada 2030 dan 14-39% pada 2035. Namun, NDC (Nationally Determined Contributions) Indonesia 2022 menunjukkan peningkatan emisi bruto sebesar 112% dari tingkat 2015, yang jauh dari target tersebut," tulis laporan Climate Analytics.

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia bahkan dapat mencapai nol emisi sebelum 2050. Selain itu, strategi ini mencantumkan target menengah sebesar 540 MtCO₂e pada 2050 dalam skenario "rendah karbon" yang kompatibel dengan Perjanjian Paris.

Solusi Sektor LULUCF menjadi andalan Indonesia untuk mencapai pengurangan emisi, dengan target mencapai nol bersih pada 2030 dan menjadi penyerap karbon (net sink) setelahnya. Namun, sektor ini memiliki tantangan besar karena fluktuasi emisi yang signifikan, seperti puncak emisi deforestasi dan pembakaran gambut pada 2015 yang mencapai 1.560 MtCO₂e. Untuk itu, Indonesia harus memperkuat kebijakan reboisasi, mengurangi pembukaan lahan, dan meningkatkan perlindungan gambut.

"Namun, laporan menunjukan kebijakan saat ini masih belum cukup ambisius untuk memenuhi jalur 1,5°C. Meskipun Indonesia telah mengumumkan rencana penghentian batu bara secara bertahap pada 2040, transisi ini membutuhkan percepatan signifikan, terutama di sektor pembangkit listrik dan industri," tulis laporan tersebut.

Mewujudkan target ambisius ini memerlukan dukungan internasional dalam bentuk pendanaan, transfer teknologi, dan kerja sama global untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. Tanpa dukungan ini, penghapusan batu bara dan peningkatan kapasitas energi terbarukan sulit untuk mencapai skala yang dibutuhkan.

Komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai nol emisi sebelum 2050 menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia serius dalam transisi energi. Langkah konkret seperti mempercepat penghapusan batu bara, meningkatkan kapasitas energi terbarukan, dan memperkuat keberlanjutan sektor LULUCF adalah kunci untuk mencapai target iklim global.

"Dengan visi dan strategi yang jelas, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemimpin global dalam transisi energi dan mitigasi perubahan iklim, menciptakan dampak positif tidak hanya bagi lingkungan, tetapi juga bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya," tulis laporan tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement