Kamis 19 Dec 2024 20:30 WIB

Penundaan EUDR Berpotensi Hambat Perbaikan Sektor Perkebunan Sawit di Indonesia

Pemerintah harus langkah konkret untuk memperbaiki sektor perkebunan sawit.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022).
Foto: ANTARA/Wahdi Septiawan
Foto udara lahan perkebunan kelapa sawit skala besar dan tanaman mangrove di kawasan penyangga Cagar Alam Hutan Bakau Pantai Timur Sumatera, Mendahara, Tanjungjabung Timur, Jambi, Rabu (10/8/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Sawit Watch Achmad Surambo menilai penundaan implementasi kebijakan Uni Eropa tentang Deforestasi (EUDR) dapat menghambat upaya perbaikan dalam sektor perkebunan sawit di Indonesia.  Surambo menjelaskan bahwa EUDR dirancang untuk mencegah produk sawit yang berasal dari lahan yang dibuka di hutan masuk ke pasar Uni Eropa.

“Jika EUDR ditunda, potensi perbaikan dalam pengelolaan sawit dan perlindungan hutan juga akan tertunda,” kata Surambo kepada Republika, Kamis (19/12/2024). 

Baca Juga

Ia menekankan bahwa kebijakan ini penting untuk mengurangi kontribusi deforestasi yang disebabkan oleh industri sawit. Surambo juga menyoroti dampak penundaan ini terhadap petani kecil, yang sering kali menghadapi masalah legalitas dalam pengelolaan kebun mereka.

 “Petani-petani swadaya yang memiliki lahan kecil antara 2 hingga 4 hektare sangat terdampak. Mereka perlu memastikan kebun mereka sesuai dengan regulasi yang ada,” ujarnya.

Lebih lanjut, Surambo menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia harus memanfaatkan EUDR untuk memperbaiki pengelolaan perkebunan sawit melalui program Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Program ini diharapkan dapat membantu petani kecil dalam mendapatkan legalitas yang lebih kuat untuk kebun mereka.

“Pemerintah harus fokus pada penguatan legalitas dan pendataan petani sawit, sesuai dengan mandat dari Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan,” tambahnya.

Surambo juga mencatat bahwa meskipun industri besar mungkin tidak terpengaruh oleh penundaan EUDR, tekanan untuk mematuhi standar lingkungan semakin meningkat. “Aspek lingkungan kini menjadi penting dalam bisnis, dan tidak boleh ada lagi pembukaan lahan sawit di kawasan hutan,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa perbaikan dalam pengelolaan hutan dan perkebunan sawit harus tetap dilakukan, terlepas dari adanya EUDR. “Kita harus menyelesaikan masalah sawit yang ada di kawasan hutan, sekitar 3,4 juta hektare, tanpa menunggu kebijakan dari luar,” pungkas Surambo.

Dengan penundaan ini, Surambo berharap pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah konkret untuk memperbaiki sektor perkebunan sawit dan melindungi hutan, demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan petani.  

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement