Jumat 20 Dec 2024 18:03 WIB

Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi Temui Banyak Hambatan

Sektor transportasi jadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia

Rep: Lintar Satria/ Red: Intan Pratiwi
Bus listrik melintas saat peluncuran di area Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/12/2024). Pemerintah Kabupaten Bogor meluncurkan dua bus listrik angkutan umum dengan rute Sirkuit Sentul-Stadion Pakansari-Bojonggede, untuk memasyarakatkan mobil listrik yang memiliki teknologi ramah lingkungan serta memudahkan masyarakat dalam menjangkau transportasi umum.
Foto: ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
Bus listrik melintas saat peluncuran di area Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/12/2024). Pemerintah Kabupaten Bogor meluncurkan dua bus listrik angkutan umum dengan rute Sirkuit Sentul-Stadion Pakansari-Bojonggede, untuk memasyarakatkan mobil listrik yang memiliki teknologi ramah lingkungan serta memudahkan masyarakat dalam menjangkau transportasi umum.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis Kebijakan Kementerian Keuangan, Agunan Samosir, mengungkapkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam transisi menuju energi bersih. Agunan menekankan pentingnya penerapan energi bersih dan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil, yang selama ini menjadi penyebab tingginya emisi karbon di Indonesia.

Agunan mengakui bahwa meskipun ada upaya untuk memperkenalkan energi bersih. Ia mengenang saat CNG (Compressed Natural Gas), diperkenalkan ke masyarakat.

"Kita cenderung menggunakan bahan bakar minyak yang sangat tinggi emisinya. CNG, meskipun lebih bersih, masih menimbulkan ketakutan di masyarakat karena potensi bahaya," ujar Agunan di Workshop Ekonomi Hijau Mitigasi Emisi Kendaraan Bermotor, Jumat (20/12/2024).

Ia menambahkan bahwa masyarakat sering kali merasa terintimidasi oleh isu keselamatan terkait penggunaan CNG, yang dianggap berisiko tinggi jika tidak ditangani dengan baik.

Dalam diskusi tersebut, Agunan juga menyoroti dampak kebijakan energi terhadap sektor-sektor lain, termasuk potensi pengangguran akibat pergeseran kebijakan.

"Ketika kita mendorong penggunaan kendaraan dengan emisi rendah, kita harus mempertimbangkan dampaknya terhadap tenaga kerja. Kebijakan yang baik harus memperhatikan kesejahteraan pekerja," katanya.

Ia mengingatkan bahwa transisi energi tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang bagaimana kebijakan tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan tidak mengganggu mata pencaharian mereka.

Agunan menambahkan bahwa risiko global, termasuk ketidakpastian geopolitik dan perubahan iklim, semakin memperumit situasi.

"Kita harus menyadari bahwa bencana akibat perubahan iklim terus terjadi, dan ini menjadi tantangan besar bagi kebijakan energi kita. Ketidakpastian ini juga mempengaruhi nilai tukar dan stabilitas ekonomi," jelasnya.

Ia mencatat bahwa ketegangan antara negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina dapat berdampak pada perekonomian Indonesia, terutama dalam hal investasi dan perdagangan.

Dalam konteks ini, Agunan menekankan perlunya simulasi dan kajian mendalam untuk memahami dampak dari kebijakan yang diusulkan.

"Kita perlu melihat bagaimana kebijakan ini dapat diterapkan secara efektif dan berkelanjutan. Simulasi yang tepat akan membantu kita memprediksi hasil dari kebijakan yang diambil," tegasnya.

Ia juga menyarankan agar Kementerian Keuangan dan kementerian terkait lainnya bekerja sama untuk menghasilkan data yang akurat dan relevan. Agunan juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang holistik dalam menangani isu-isu lingkungan dan energi.

"Kita tidak bisa hanya fokus pada satu aspek saja. Misalnya, dalam pengelolaan sampah, kita harus melihat bagaimana sampah dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi terbarukan. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) bisa menjadi solusi yang menarik," ujarnya.

Ia menambahkan bahwa selama ini, kebijakan terkait pengelolaan sampah belum sepenuhnya diimplementasikan, meskipun ada potensi besar untuk memanfaatkannya.

Dalam penutup diskusi, Agunan menyampaikan harapan bahwa kolaborasi antara berbagai kementerian dan pemangku kepentingan dapat menghasilkan kebijakan yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

"Kita harus berkomitmen untuk menciptakan kebijakan yang berkelanjutan dan dapat diterima oleh semua pihak. Ini adalah tantangan yang harus kita hadapi bersama," pungkasnya.

Dengan tantangan yang ada, Agunan menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses transisi energi.

"Kita perlu mendengarkan suara masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia," tutupnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement