REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Inovasi pembiayaan bank pembangunan multilateral (MDB) dinilai sangat penting dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dunia. Tantangan itu mulai dari kemiskinan, krisis kesehatan sampai perubahan iklim.
"Ketika para pemimpin keuangan dan politik dunia berkumpul, baik di G20, Sidang Umum PBB, maupun pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, tantangan pembangunan yang mendesak hampir selalu menjadi agenda utama," tulis Wakil Presiden Eksekutif Bank Pembangunan Inter-Amerika (IDB), Jordan Schwartz dalam opininya yang dimuat di Korea JoongAng Daily, Rabu (25/12/2024).
Schwartz mencatat solusi yang ditawarkan untuk mengatasi berbagai tantangan-tantangan mulai dari pengentasan kemiskinan, krisis kesehatan masyarakat, perubahan iklim, dan transisi energi selalu sama, yakni peningkatan pembiayaan. Ia mengakui untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, dibutuhkan lebih dari satu triliun dolar AS.
"Misalnya, Amerika Latin dan Karibia memerlukan investasi sebesar 2,2 triliun dolar AS untuk infrastruktur berkelanjutan, sementara pasar negara berkembang di seluruh dunia membutuhkan 1,5 triliun dolar AS per tahun untuk proyek-proyek tersebut," kata Schwartz.
Akan tetapi, menurut Schwartz hal yang tidak kalah pentingnya adalah inovasi instrumen-instrumen MDB untuk menggerakkan lebih banyak pembiayaan publik dan swasta untuk investasi tersebut, seperti mekanisme pasar modal, pembiayaan terstruktur, dan obligasi terkait keberlanjutan.
Selain itu, MDB menawarkan jaminan, pertukaran utang, pembiayaan kontinjensi tanpa biaya komitmen, dan klausul ketahanan iklim kepada negara-negara klien sebagai imbalan atas komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi alam.
Schwartz mengatakan walaupun instrumen-instrumen ini tidak sepenuhnya baru, inovasi terletak pada pengenalan instrumen tersebut ke dalam pembiayaan lintas batas. Untuk memfasilitasi kemajuan lebih lanjut, penting untuk memastikan instrumen ini terintegrasi dengan kebijakan ekonomi negara-negara berkembang dan menjadi standar yang dapat direplikasi.
"Bagi banyak ekonomi yang sedang berkembang, menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pengentasan kemiskinan dan tujuan iklim merupakan tantangan utama. Pemerintah mereka harus memanfaatkan seluruh rangkaian alat keuangan yang tersedia untuk memerangi pemanasan global sambil memastikan bahwa upaya tersebut menghasilkan peningkatan produktivitas dan pertumbuhan. Jika tidak, utang mereka akan menjadi tidak berkelanjutan," tulis Schwartz.
Ia mencontohkan transisi energi yang memerlukan investasi dalam energi terbarukan, memperluas jaringan transmisi untuk mengatasi masalah intermitensi, dan mengurangi risiko aset bahan bakar fosil. Schwartz menjelaskan di banyak negara berkembang di mana perusahaan listrik mengalami kendala keuangan, beban ini menjadi tidak terjangkau.
"Oleh karena itu, pembiayaan iklim memerlukan pembuatan kebijakan ekonomi yang mempertimbangkan kemampuan konsumen dan pembayar pajak untuk membayar investasi ini. Kebijakan terkait harga, regulasi, perencanaan sektor, dan lingkungan investasi akan semakin menentukan kelayakan finansial," katanya.
Schwartz menambahkan semakin seringnya dan tingginya intensitas cuaca ekstrem juga memerlukan perubahan dalam pemikiran ekonomi. Ia mengatakan biasanya para menteri keuangan mengandalkan pembiayaan respons darurat untuk membiayai pemulihan peristiwa cuaca ekstrem dengan keyakinan cuaca ekstrem bukan sesuatu yang rutin.
"Namun, saat ini badai paling intens terjadi lebih dari tiga kali lipat dibandingkan seratus tahun yang lalu, kekeringan berlangsung lebih lama, dan peristiwa yang lebih dapat diprediksi, seperti badai musiman, semakin parah. Lebih buruk lagi, bencana, termasuk pandemi, semakin sering tumpang tindih," katanya.