Jumat 27 Dec 2024 16:28 WIB

Komitmen Transisi Energi Memudar, Eropa Genjot Produksi Migas

Terpilihnya Donald Trump menambah gejolak transisi energi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perusahaan-perusahaan energi Eropa melipatgandakan produksi minyak dan gas pada tahun 2024 untuk fokus pada profit jangka pendek. Perlambatan dan kemungkinan perubahan arah komitmen iklim ini tampaknya akan terus berlangsung pada 2025.

Langkah perusahaan-perusahaan minyak ini diambil setelah pemerintah di seluruh dunia menahan kebijakan-kebijakan energi bersih dan menunda target-target iklim usai harga energi naik dampak invasi Rusia ke Ukraina.

Baca Juga

Perusahaan-perusahaan energi Eropa yang banyak berinvestasi pada transisi energi bersih, kalah saing dari perusahaan-perusahaan energi Amerika Serikat (AS) seperti Exxon dan Chevron yang masih fokus pada minyak dan gas. Hal ini mendorong BP dan Shell menahan rencana menghabiskan miliaran dolar AS pada proyek-proyek energi tenaga surya dan angin dan melanjutkan proyek-proyek minyak dan gas.

Pada Desember ini, BP mengumumkan akan mengalihkan hampir semua proyek pembangkit listrik tenaga anginnya ke proyek patungan dengan pembangkit listrik Jepang, JERA. Perusahaan asal Inggris itu menargetkan meningkatkan energi terbarukannya 20 kali lipat menjadi 50 gigawatt pada dekade ini.

Shell yang pernah berjanji menjadi perusahaan listrik terbesar di dunia menarik investasinya dari proyek-proyek pembangkit listrik tenaga angin, keluar dari pasar listrik Eropa dan Cina serta memperkecil target pemangkasan karbonnya. Perusahaan energi pemerintah Norwegia, Equinor juga menahan pengeluaran untuk energi terbarukan.

"Distrupsi geopolitik seperti invasi Ukraina memperlemah insentif CEO untuk memprioritaskan transisi energi rendah karbon di tengah tingginya harga minyak dan berkembangnya ekspektasi investor," kata pengamat di Accela Research, Rohan Bowater, Kamis (26/12/2024).

Bowater menambahkan pada tahun 2024, BP, Shell, dan Equinor mengurangi pengeluaran rendah karbon sebesar 8 persen. Shell mengatakan pihaknya tetap berkomitmen untuk menjadi bisnis energi dengan emisi nol bersih pada tahun 2050 dan terus berinvestasi dalam transisi energi.

"Beberapa tahun terakhir segmen angin lepas pantai mengalami masa-masa sulit karena inflasi, kenaikan ongkos produksi, kemacetan di rantai pasokan, dan Equinor akan terus selektif dan disiplin dalam pendekatan kami," kata Equinor.

BP tidak menanggapi permintaan komentar. Langkah perusahaan-perusahaan minyak menahan komitmennya menjadi berita buruk untuk mitigasi perubahan. Pakar memperkirakan emisi karbon gas rumah kaca diperkirakan mencapai rekor terbarunya pada tahun 2024.

Kembalinya Donald Trump yang skeptis pada perubahan iklim ke Gedung Putih juga diperkirakan menambah gejolak transisi energi pada tahun 2025. Cina yang merupakan importir minyak mentah terbesar di dunia mencoba membangkit kembali perekonomiannya yang sedang goyah, diperkirakan akan menaikan permintaan minyak.

Sementara, Eropa masih menghadapi ketidakpastian perang Ukraina dan gejolak politik di Jerman dan Prancis. Semua ketegangan ini terungkap lewat pernyataan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) di Baku, yang mengatakan minyak dan gas "karunia dari Tuhan."

Negara-negara berkembang dan aktivis lingkungan kecewa dengan hasil COP29 bulan November lalu. Mereka gagal mengamankan 1,3 triliun dolar AS per tahun dari negara-negara kaya untuk membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.  

Perusahaan-perusahaan energi akan memantau langkah Trump yang berjanji mencabut kebijakan-kebijakan iklim Presiden Joe Biden. Trump berjanji akan menarik AS dari upaya-upaya mitigas dan adaptasi perubahan iklim global, dan menunjuk mantan petinggi perusahaan minyak yang juga skeptis pada perubahan iklim Chris Wright sebagai menteri energinya.

Ada potensi jebakan dari kembalinya perusahaan-perusahaan energi untuk fokus ke minyak dan gas. Pertumbuhan permintaan di Cina yang mendorong harga global selama dua dekade, melambat, dengan semakin banyak tanda-tanda konsumsi bensin dan solarnya menurun.

Pada saat yang sama, OPEC dan sekutu-sekutu produsen minyak lainnya berulang kali menunda rencana untuk mengurangi pengurangan pasokan karena negara-negara lain, yang dipimpin Amerika Serikat, meningkatkan produksi minyak.

Akibatnya, para analis memperkirakan perusahaan-perusahaan minyak akan menghadapi kendala keuangan yang lebih ketat tahun depan. Berdasarkan estimasi LSEG, utang bersih untuk lima raksasa minyak dunia diperkirakan akan meningkat dari 92 miliar dolar AS pada tahun 2022 menjadi 148 miliar dolar AS.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement