Senin 30 Dec 2024 12:50 WIB

Bencana Alam Akibat Krisis Iklim di 2024 Bikin Kerugian Global 200 Miliar Dolar AS

Krisis iklim tak hanya menelan kerugian ekonomi tetapi juga umat manusia

Nelayan membersihkan jaring ikan di dekat tiang Jembatan Alue Naga sisa tsunami 26 Desember 2004 di Banda Aceh, Aceh, Ahad (8/12/2024). Jembatan Alue Naga yang menghubungkan antardusun di atas Sungai Krueng Aceh itu merupakan salah satu bangunan yang terdampak bencana gelombang tsunami yang terjadi di pesisir Aceh 20 tahun lalu.
Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Nelayan membersihkan jaring ikan di dekat tiang Jembatan Alue Naga sisa tsunami 26 Desember 2004 di Banda Aceh, Aceh, Ahad (8/12/2024). Jembatan Alue Naga yang menghubungkan antardusun di atas Sungai Krueng Aceh itu merupakan salah satu bangunan yang terdampak bencana gelombang tsunami yang terjadi di pesisir Aceh 20 tahun lalu.

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON -- Sepuluh bencana iklim paling merusak di tahun 2024 menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari 200 miliar dolar AS, menurut laporan dari organisasi amal Christian Aid. Badai, banjir, topan, dan badai yang dipengaruhi oleh perubahan iklim masing-masing menyebabkan kerugian di atas 4 miliar dolar AS.

Laporan tersebut menyoroti bahwa angka ini sebagian besar berasal dari kerugian yang diasuransikan. Biaya sebenarnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Christian Aid menegaskan perlunya tindakan mendesak untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memastikan pendanaan bagi negara-negara miskin untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

"Politisi yang meremehkan urgensi krisis iklim hanya akan merugikan rakyatnya sendiri dan menyebabkan penderitaan yang tak terhitung di seluruh dunia," ujar Joanna Haigh, pakar iklim.

Negara maju mendominasi daftar bencana paling merugikan secara ekonomi karena tingginya nilai properti dan sistem asuransi yang lebih baik. Namun, Christian Aid juga menyoroti 10 bencana lain yang tidak tercatat sebagai bencana termahal tetapi sama-sama menghancurkan, terutama di negara-negara miskin.

Bencana paling mahal tahun ini adalah Badai Milton, yang menurut para ilmuwan dipengaruhi oleh pemanasan global sehingga menjadi lebih basah, berangin, dan destruktif. Badai ini menyebabkan kerugian sebesar 60 miliar dolar AS. Badai Helene mengikuti di urutan kedua dengan kerugian mencapai 55 miliar dolar AS.

Tiga dari sepuluh bencana iklim paling mahal terjadi di Eropa, termasuk banjir dari Badai Boris yang menghancurkan negara-negara Eropa Tengah pada September dan banjir mematikan di Valencia, Spanyol, pada Oktober yang menewaskan 226 orang.

Di China, banjir pada Juni dan Juli menewaskan 315 orang dan menyebabkan kerugian sebesar 15,6 miliar dolar AS. Sementara itu, Topan Yagi yang melanda Asia Tenggara pada September menewaskan lebih dari 800 orang dan menyebabkan kerugian senilai 12,6 miliar dolar AS.

Gelombang panas mempengaruhi 33 juta orang di Bangladesh, memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, dan menyebabkan banjir yang berdampak pada 6,6 juta orang di Afrika Barat. Sementara itu, kekeringan terburuk dalam sejarah mempengaruhi lebih dari 14 juta orang di Zambia, Malawi, Namibia, dan Zimbabwe.

Patrick Watt, CEO Christian Aid, menegaskan bahwa peningkatan intensitas dan frekuensi bencana ini bukanlah fenomena alami, melainkan hasil dari keputusan untuk terus membakar bahan bakar fosil dan gagal memenuhi komitmen keuangan untuk negara-negara paling rentan.

"Di tahun 2025, kita perlu melihat pemerintah mengambil kepemimpinan untuk mempercepat transisi hijau, mengurangi emisi, dan memenuhi janji pendanaan mereka," tegas Watt.

Dr. Mariam Zachariah, peneliti di World Weather Attribution di Imperial College London, menambahkan bahwa laporan ini hanyalah gambaran kecil dari kehancuran akibat iklim di tahun 2024.

"Di balik angka miliaran dolar ini, terdapat nyawa dan mata pencaharian yang hilang," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement