Jumat 10 Jan 2025 17:41 WIB

Kebun Sawit Bisa Serap Karbon, Tapi Emisi yang Dihasilkan Jauh Lebih Besar

Aktivitas perkebunan sawit menghasilkan emisi karbon yang signifkan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Kebun sawit (ilustrasi).
Foto: Dok Republika
Kebun sawit (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sawit Watch mengkritisi  pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kelapa sawit dan dampaknya terhadap deforestasi. Dalam pernyataannya, Prabowo menyatakan perluasan lahan sawit tidak perlu dikhawatirkan karena tanaman ini dapat menyerap karbon.

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, sawit sebagai tanaman tentu memiliki kemampuan dalam menangkap karbon. “Namun, apakah tanaman sawit mampu menggantikan peran hutan alam dalam menyerap karbon? Atau justru pembukaan lahan menjadi sawit berkontribusi atas terjadinya emisi karbon?” ujar Surambo dalam pernyataannya Jumat (10/1/2025).

Baca Juga

Surambo menjelaskan tanaman sawit berusia 25 tahun dapat menyerap sekitar 39,94 ton karbon per hektare setara dengan 146,58 ton karbon dioksida ekuivalen. Bagian tanaman yang paling efektif dalam menyerap karbon adalah batang sawit, yang mampu menyerap 29,13 ton per hektare atau setara dengan 106,91 ton CO2-eq.

Namun, ia menekankan  aktivitas perkebunan sawit juga menghasilkan emisi karbon yang signifikan. Dalam publikasi terbaru Sawit Watch berjudul “Pembangunan Kebun Kelapa Sawit Berbasis Gas Rumah Kaca: Tinjauan Kritis,” disebutkan bahwa emisi gas rumah kaca (GRK) dari operasional kebun sawit dapat mencapai 4.180 hingga 6.225 kg CO2-eq per hektare per tahun. Selain itu, perubahan simpanan karbon dapat memicu emisi hingga 96.000 kg CO2-eq per hektare per tahun.

“Alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit dapat menyebabkan emisi GRK yang bervariasi tergantung pada karakteristik lahan. Misalnya, alih fungsi lahan gambut memiliki dampak terburuk, dengan emisi karbon yang sangat tinggi hingga 1.835 ton CO2-eq,” jelas Surambo.

Ia menambahkan,’meskipun tanaman sawit memiliki potensi dalam penyerapan karbon, kontribusi ini tidak cukup untuk menutupi emisi yang dihasilkan, terutama dari alih fungsi lahan.

Pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni yang menyebutkan adanya 20 juta hektare lahan cadangan untuk produksi pangan dan energi juga menjadi sorotan. Surambo menegaskan rencana untuk memperluas lahan sawit perlu dipikirkan secara matang.

“Upaya memperluas sawit hanya akan berdampak pada deforestasi yang lebih besar dan risiko yang lebih tinggi, bahkan berkontribusi pada perubahan iklim dunia,” katanya.

Surambo juga mengingatkan hasil riset terbaru menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan untuk pengembangan industri sawit di Indonesia hanya mencapai 18,15 juta hektare dan negara telah mendekati angka tersebut.

“Intensifikasi merupakan strategi paling masuk akal yang bisa diambil pemerintah. Sudah saatnya pemerintah lebih bijak dalam mengambil keputusan,” tutup Surambo.

Surambo menekankan pentingnya mitigasi yang serius untuk mengurangi dampak alih fungsi lahan, terutama di lahan gambut dan hutan di tanah mineral. “Kebijakan perkebunan sawit harus mempertimbangkan dampak lingkungan dan berupaya mencegah kerusakan serta fluktuasi simpanan karbon,” ujarnya.

Dengan meningkatnya perhatian terhadap isu perubahan iklim dan keberlanjutan, pernyataan dan kebijakan terkait industri sawit akan terus menjadi sorotan. Surambo berharap bahwa pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang lebih bijak dan berkelanjutan dalam pengelolaan lahan, demi menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah dampak negatif yang lebih besar di masa depan.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sebelumnya menjelaskan pemanfaatan hutan sebagai kawasan cadangan pangan, energi, dan air, bukan merupakan deforestasi. Raja Juli menyatakan, program untuk mendukung swasembada pangan itu akan dilakukan dengan tetap menjaga keberlanjutan dan kelestarian hutan.

Menurut dia, pihaknya telah mengidentifikasi sekitar 20 juta hektare hutan, yang bisa dimanfaatkan sebagai kawasan cadangan pangan, energi dan air tersebut. "Idenya bukan deforestasi, tapi justru menjaga hutan, yang secara bersamaan swasembadanya berjalan," ujar Menhut, Rabu (8/1/2025).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement