Ahad 12 Jan 2025 13:13 WIB

IPB: Hutan Terdegradasi Bisa untuk Pangan dan Energi

Penambahan lahan sawit di kawasan hutan terdegradasi bukan deforestasi.

Masyarakat melewati perkebunan kelapa sawit di tepi Jalan Lintas Jambi-Suak Kandis, Jambi.
Foto: ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Masyarakat melewati perkebunan kelapa sawit di tepi Jalan Lintas Jambi-Suak Kandis, Jambi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Yanto Santosa, menyatakan sekitar 31,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan dan energi. Pada 2020, tambahnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan ada sekitar 31,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi.

"Kawasan hutan yang sudah rusak ini sebaiknya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dalam rangka menggapai ketahanan pangan maupun ketahanan energi," ujar Yanto melalui keterangannya, Ahad (12/1/2025).

Baca Juga

Menurut dia, penambahan lahan sawit di kawasan hutan tersebut bukanlah kegiatan deforestasi apabila dilakukan di kawasan hutan yang sudah tidak berhutan atau terdegradasi. Oleh karena itu Prof Yanto mendukung rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan mengoptimalkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit.

Namun demikian, ia mengingatkan agar kawasan hutan terdegradasi tersebut jangan semuanya ditanami sawit. Ia menyarankan cukup 70 persennya, sedangkan sebagiannya harus ditanami tanaman hutan unggulan seperti bangkirai, ulin, kayu hitam atau bisa juga meranti.

"Daripada pemerintah tidak sanggup menghutankan kembali, lebih baik ditanami sawit dan tanaman hutan yang proporsinya 70 persen sawit dan 30 persen tanaman hutan,” katanya.

Sementara itu, pengamat lingkungan dan kehutanan Petrus Gunarso menyatakan jika pemerintah ingin menambah produksi minyak sawit, maka yang perlu dilakukan adalah peremajaan atau "replanting" kebun sawit secara besar-besaran. Sebab, produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu masih sangat rendah, tambahnya. Data Statistik Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020 menunjukkan produktivitas rata-rata perkebunan sawit nasional 3,89 ton CPO/ha/tahun.

Produktivitas kebun sawit rakyat sebesar 3,429 ton CPO/ha/tahun, kebun sawit milik negara (PTPN) 4,2 ton, dan swasta mencapai 4,4 ton. "Indonesia sebenarnya sudah berusaha melakukan replanting melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR). Namun realisasinya, Program PSR ini tidak pernah mencapai target seluas 180.000 ha/tahun," katanya.

Lambannya PSR ini, kata Petrus, mayoritas dipicu oleh persoalan legalitas lahan pasalnya Kementerian Kehutanan (Kemenhut) masih mengklaim sekitar 65 persen wilayah Indonesia adalah kawasan hutan. Menurut dia, jika 65 persen wilayah Indonesia ini masih dinyatakan sebagai kawasan hutan maka akan terus muncul polemik ataupun kegaduhan bilamana ada wacana penambahan lahan untuk kegiatan pertanian/perkebunan atau kegiatan non kehutanan.

Oleh karena itu, dia mengusulkan supaya pemerintah bersama DPR, akademisi serta masyarakat sipil duduk bersama berembug untuk melakukan inventarisasi hutan nasional. Pasalnya, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dijadikan patokan saat ini sebagai tata ruang itu ditetapkan awal tahun 1970-an. Di mana saat itu penduduk Indonesia masih sekitar 120 juta orang, sementara saat ini sudah sekitar 282 juta orang.

"Dengan kesepakatan tata ruang baru ini bisa dilakukan untuk memperluas kawasan untuk pangan, tanaman industri entah itu sawit atau tanaman apapun, sehingga kita tidak bisa dikatakan sebagai deforestasi," katanya.

 

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement