Oleh : Indra Gunawan, dosen Universitas Islam Internasional Indonesia, Alumni Lemhannas PPSA XXIV dan Anggota Badan Pelaksana BPKH 2022-2027
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menegaskan komitmennya untuk terus mendengarkan dan menjalankan setiap nasihat dari para ulama demi pengelolaan dana haji yang lebih baik. Keputusan Ijtima' Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VIII tahun 2024 menjadi tonggak penting yang memberikan arahan strategis untuk tata kelola keuangan haji yang sesuai dengan prinsip syariah dan kepentingan umat.
Fatwa tersebut menggarisbawahi pentingnya memastikan bahwa hasil investasi dana haji tetap menjadi hak calon jemaah haji dan hanya digunakan untuk kemaslahatan mereka. BPKH dengan rendah hati menerima arahan ini dan menjadikannya panduan dalam meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pengelolaan dana haji. Langkah ini sejalan dengan visi BPKH untuk memaksimalkan nilai manfaat bagi seluruh jemaah, baik yang sudah berangkat maupun yang masih berada dalam daftar tunggu.
Dalam praktiknya, BPKH telah menyalurkan total nilai manfaat rekening virtual sebesar sekitar Rp 14 triliun untuk calon jemaah tunggu. Angka ini patut diapresiasi, namun masih tertinggal dibandingkan manfaat bagi jemaah yang berangkat yang mencapai Rp 35,1 triliun. Ternyata ini mengambil perhatian khusus para ulama hingga hadir fatwa ulama yang menetapkan bahwa dana setoran haji dari jemaah tunggu (waiting list), yang telah dikelola BPKH secara syar’i dan dapat di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif (agar dapat memberikan keuntungan).
Ulama mengingatkan Kembali bahwa hasil penempatan/investasi tersebut merupakan milik seluruh calon haji tunggu, tidak boleh digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan. Dana hasil investasi tersebut dapat menjadi penambah dana simpanan calon haji atau pengurang biaya haji yang riil/nyata. Fatwa ulama ini sejatinya telah sesuai Pasal 7 UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji yang menyatakan bahwa “setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus merupakan dana titipan Jemaah Haji untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji”.
Sebelumnya, di Pasal 6 ayat (1) dan (2) dijelaskan bahwa setoran BPIH dan/ atau BPIH Khusus sebagaimana diperoleh dari Jemaah Haji, dibayarkan ke rekening atas nama BPKH dalam kedudukannya sebagai wakil yang sah dari Jemaah Haji pada Kas Haji melalui BPS BPIH, dan ayat (3) menjelaskan bahwa saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus terdiri atas setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus beserta nilai manfaatnya. Karenanya dipahami bahwa nilai manfaat setoran BPIH ini milik jemaah tunggu secara keseluruhan.
Selanjutnya sesuai Pasal 7 ayat (2), dalam hal saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus lebih besar daripada penetapan BPIH dan/atau BPIH Khusus tahun berjalan, BPKH wajib mengembalikan selisihnya kepada Jemaah Haji. Kemudian Pasal 8 UU Pengelolaan Haji mengatur bahwa nilai manfaat Keuangan Haji dari hasil pengembangan Keuangan Haji, dan ditempatkan pada Kas Haji. Selanjutnya, Pasal 16 lebih eksplisit mengatur bahwa (1) Pengeluaran pembayaran nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf f dilakukan oleh BPKH secara berkala ke rekening virtual Jemaah Haji; (2) Besaran pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan persentase dari nilai manfaat Keuangan Haji.
Akan tetapi, dalam prakteknya ada dilema bagi BPKH yang tidak memiliki kewenangan atas keputusan yang dalam hal ini ada di tangan pemerintah dan DPR. Selama tiga tahun terakhir, pertahunnya BPKH telah mengalokasikan sekitar Rp21 triliun untuk sekali keberangkatan haji. Pada tahun 2027, terdapat potensi dua kali musim haji dalam satu tahun akibat irisan kalender hijriah dan masehi yang memicu tagihan biaya haji capai dua kali lipat hingga Rp 42 triliun.
Situasi ini dapat berdampak sistemik terhadap keuangan nasional. Dalam jangka panjang, jika tidak dibenahi pasti akan menimbulkan masalah yang serius dalam hal likuiditas. Pembatalan dana haji oleh jemaah akibat melonjaknya biaya haji diestimasi akan mencapai puncaknya di tahun 2027 yang berpotensi memicu efek domino yang serius bagi industri keuangan dan stabilitas politik dan keamanan nasional sementara dana haji harus selalu Aman, Adil, dan Abadi.
Antrian haji di Indonesia masih panjang, mencapai rata-rata 25 tahun dengan kuota 221 ribu per tahun yang tidak sebanding dengan jumlah antrian pendaftar yang mencapai 5,3 juta per tahun. Biaya haji tahun 2024 mencapai Rp 93,4 juta per orang, dengan 40 persen ditanggung BPKH (Rp 37 juta). Total biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 495 triliun, sedangkan dana yang dikelola BPKH hanya Rp 167 triliun. Hal ini menimbulkan risiko ponzy sebesar Rp 329 triliun, idealnya dana haji harus selalu Aman, Adil, dan Abadi.
BPKH percaya bahwa dengan bimbingan ulama, dukungan regulasi yang tepat, dan kolaborasi semua pihak, dana haji dapat terus menjadi instrumen kemaslahatan umat yang berkelanjutan. Komitmen ini tidak hanya tentang pengelolaan keuangan, tetapi juga tentang menjaga amanah besar dari jutaan calon jemaah haji yang menanti giliran untuk melaksanakan rukun Islam kelima. BPKH yakin dapat menjadi pengelola dana haji yang lebih baik, lebih transparan, dan lebih bermanfaat bagi seluruh umat. Semoga upaya ini menjadi bagian dari kontribusi nyata dalam mewujudkan perjalanan ibadah haji yang lebih mudah, adil, dan penuh keberkahan.
Ini merupakan pendapat opini pribadi*)