REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Ilham Akbar, Praktisi dan Pengamat Human Capital
Keputusan pemerintah menaikan tarif 1 persen pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah menjadi angin segar bagi para pelaku usaha, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka kini dapat lebih fokus untuk mengembangkan bisnis usahanya tanpa perlu mengkhawatirkan beban fiskal yang dapat menekan margin keuntungan bisnis.
Meski keputusan pemerintah tersebut memberikan kelegaan, keberhasilan memanfaatkan momentum ini bergantung pada bagaimana para pelaku usaha merancang dan menjalankan strateginya. Di sisi lain, berbagai tantangan bisnis pun akan terus dihadapi mereka, seperti ketatnya persaingan bisnis, perubahan tren konsumen, dan ketidakpastian ekonomi global yang mengharuskan bisnis untuk tetap tumbuh secara berkelanjutan.
Dalam hal ini, para pelaku usaha dituntut tidak hanya sekedar menjalankan usahanya tetapi juga menjadi pemimpin yang produktif. Mereka harus mampu memimpin perusahaan secara terstruktur, terukur, dan terarah untuk menghasilkan hasil yang maksimal meskipun menantang dengan memanfaatkan sumber daya, waktu, dan kemampuan. Namun, menjadi pemimpin produktif bukanlah perkara yang mudah.
Penulis mengamati, setidaknya terdapat tiga kendala utama pelaku usaha untuk menjadi pemimpin yang produktif. Pertama, pola pikir atau mindset. Di tengah persaingan bisnis yang semakin kompetitif, setiap keputusan yang diambil mencerminkan mindset yang mendasari cara kerja perusahaan. Sejumlah pelaku usaha masih memiliki mindset yang fokus pada hasil jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak yang keberlanjutan.
Mindset ini muncul salah satunya ketika terdapat tekanan dalam mencapai target key performance indicator (KPI) yang dibagi secara tahunan, bulanan, mingguan, atau bahkan harian. Padahal, KPI hanyalah sebuah alat ukur performa bisnis dan bukan tujuan akhir dari suatu bisnis. Lebih lanjut, tidak jarang beberapa “oknum” pelaku usaha mengabaikan nilai-nilai etika dan budaya kerja perusahaan demi mengejar hasil yang instan.
Kedua, strategi. Keberhasilan suatu bisnis sangat bergantung pada perencanaan strategi yang akan dijalankan. Kesalahan umum yang terjadi, yakni sejumlah pelaku usaha masih sering terjebak dengan perencanaan strategi yang tidak fokus dan spesifik sehingga eksekusinya menjadi tidak efektif dan efisien. Mereka cenderung mengerjakan terlalu banyak hal secara sekaligus tanpa memiliki prioritas utama yang dilakukan secara mendalam.
Strategi yang tidak fokus dan spesifik biasanya diiringi dengan pembagian ruang lingkup kerja yang tidak jelas. Ketika peran dan tanggung jawab tidak terdefinisi dengan baik, upaya kolaborasi menjadi tidak efektif.
Di satu sisi, para pekerja merasa bingung tentang apa yang diharapkan oleh pemimpin. Di sisi lain, pelaku usaha selaku pemimpin sulit untuk mengukur kontribusi individu pekerja. Situasi seperti ini sering kali berujung pada konflik internal.
Ketiga, eksekusi. Strategi yang brilian tidak ada artinya tanpa eksekusi yang baik. Dalam banyak kasus, sejumlah pelaku usaha belum memberikan perhatian yang cukup tentang bagaimana strategi tersebut secara konkret diterapkan. Kondisi ini diperburuk oleh minimnya pemahaman mereka tentang pentingnya eksekusi dilakukan dengan penuh komitmen, disiplin, dan konsisten.
Di samping itu, kegiatan monitoring dan evaluasi juga masih belum dilakukan secara berkelanjutan. Padahal, kedua hal ini merupakan elemen penting untuk memastikan kegiatan eksekusi berjalan sesuai strategi yang direncanakan. Ketika eksekusi tidak optimal, dampaknya tidak hanya membuat target sulit dicapai tetapi juga ketidakefisienan dalam operasional perusahaan, termasuk pengalokasian sumber daya manusia.
Tiga kendala utama di atas sudah sepatutnya menjadi perhatian serius para pelaku usaha jika ingin menjadi pemimpin yang produktif. Mereka harus dapat mengubah mindset, memperbaiki strategi, dan memperkuat eksekusi guna meningkatkan produktivitas sekaligus memenangi persaingan bisnis dimasa kini maupun masa depan. Untuk itu, penulis merumuskan tiga hal penting yang dapat dilakukan untuk menjadi pemimpin yang produktif.
Pertama, budayakan kerja dengan fokus pada maknanya (purpose driven culture). Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Simon Sinek, seorang penulis, motivator, dan konsultan asal Inggris-Amerika, dalam bukunya yang berjudul “Start With Why” tahun 2009. Teori ini menekankan pentingnya memahami WHY (mengapa), HOW (bagaimana), dan WHAT (apa) dalam memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu.
Dalam hal ini, setiap pelaku usaha perlu memahami makna atau tujuan yang mendasari mengapa mereka bekerja (why). Pemahaman ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan terhubung secara emosional. Setelah memahami maknanya, mereka dapat memikirkan bagaimana cara (how) dan apa yang akan ditawarkan (what) ke konsumen sehingga tujuan yang diinginkannya dapat tercapai.
Sebagai contoh, seorang pelaku usaha berambisi membawa perusahaan air minuman dalam kemasan (AMDK) menjadi nomor satu di Indonesia (why). Ia memiliki strategi dimana ia tidak hanya sebatas menawarkan produk AMDK saja, tetapi juga menjadi mitra gaya hidup sehat seluruh komunitas dan keluarga di Indonesia (how). Dengan itu, ia akan menawarkan produk AMDK secara tepat sesuai kebutuhan konsumen (what).
Kedua, tetapkan target key performance indicator (KPI) secara terukur dan terarah. George T. Doran, seorang penulis dan konsultan manajemen terkemuka, memperkenalkan metode S.M.A.R.T (terdiri dari Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound) dalam menetapkan KPI melalui artikelnya yang berjudul “There’s a S.M.A.R.T. Way to Write Management’s Goals and Objectives” tahun 1981.
Metode ini mengharuskan pelaku usaha untuk mendefinisikan KPI secara spesifik dan jelas, memiliki indikator pencapaian keberhasilan, realistis dicapai sesuai sumber daya, sejalan dengan tujuan perusahaan, serta memiliki batas waktu yang jelas untuk dicapai. Pada perkembangannya, metode S.M.A.R.T mengalami berbagai modifikasi menyesuaikan dengan dinamika bisnis dan manajemen modern.
Sebagai pemimpin perusahaan, pelaku usaha harus terlebih dahulu memahami KPI perusahaan yang ingin dicapai sebelum menetapkannya kepada pekerja. KPI yang ditetapkan nantinya dapat membantu pekerja untuk fokus pada sasaran yang jelas. KPI ini juga berfungsi sebagai alat untuk mengevaluasi kemajuan dan memotivasi tim untuk mencapai hasil yang optimal sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Ketiga, laksanakan disiplin eksekusi secara konsisten. Disiplin eksekusi pertama kali dipopluerkan oleh Chris McChesney, Sean Covey, dan Jim Huling yang merupakan bagian dari tim di FranklinCovey, sebuah perusahaan konsultan manajemen dan pelatihan global, melalui buku mereka yang berjudul "The 4 Disciplines of Execution: Achieving Your Wildly Important Goals" tahun 2012.
Pentingnya disiplin eksekusi dilakukan secara konsisten mampu membantu pelaku usaha untuk memastikan para pekerjanya bekerja secara produktif dan berkontribusi pada pencapaian hasil yang maksimal. Kegiatan ini dimulai dengan menetapkan sasaran kinerja yang akan menjadi prioritas utama ke depan. Kemudian, diturunkan menjadi aktivitas - aktivitas yang menggerakkan pada hasil yang diinginkan.
Setelah itu, aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu diukur kemajuannya melalui scoreboard pencapaian hasil. Hal ini juga berfungsi untuk menjaga motivasi para pekerja melalui informasi yang ditunjukkan terkait seberapa dekat mereka dengan pencapaian hasil akhir. Lebih lanjut, pelaku usaha dapat melakukan pertemuan secara rutin yang bertujuan untuk mengevaluasi kemajuan atas hasil yang telah atau belum tercapai.
Pada akhirnya, ketiga hal penting tersebut di atas membutuhkan komitmen, disiplin, dan konsistensi dari pelaku usaha dalam menjalankannya untuk memastikan bahwa bisnis usahanya tetap berada di jalur pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan. Tanpa itu, berbagai tantangan dan ketidakpastian yang terus berkembang di industri berpotensi menghambat berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menumbuhkan bisnisnya.