Kamis 23 Jan 2025 16:28 WIB

Kebijakan Trump Jadi Tanda Perpecahan Upaya Iklim Global

Mundurnya AS dari perjanjian iklim terjadi di momen krusial.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Donald Trump mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik sebagai presiden Amerika Serikat ke-47 oleh Ketua Hakim John Roberts pada Pelantikan Presiden ke-60 di Rotunda US Capitol, Washington, Senin (20/1/2025) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Julia Demaree Nikhinson
Donald Trump mengucapkan sumpah jabatan saat dilantik sebagai presiden Amerika Serikat ke-47 oleh Ketua Hakim John Roberts pada Pelantikan Presiden ke-60 di Rotunda US Capitol, Washington, Senin (20/1/2025) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menarik AS dari Perjanjian Paris. Trump, yang dilantik untuk masa jabatan kedua, Senin (20/1/2024) lalu mengumumkan pembatalan komitmen AS terhadap perjanjian iklim tahun 2015.

Perjanjian yang ditandatangani oleh hampir 200 negara ini mengharuskan negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah untuk membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri. Pendiri organisasi advokasi iklim, Satat Sampada Climate Foundation, Harjeet Singh mengatakan keputusan Trump tersebut akan menjadi pukulan keras bagi upaya global mengatasi perubahan iklim.

Baca Juga

"AS sebagai penghasil emisi gas rumah kaca nomor dua di dunia dan nomor satu dalam sejarah, memiliki tanggung jawab unik dalam mencapai target kesepakatan, mundurnya AS memberi sinyal perpecahan di upaya iklim multilateral dan merusak solidaritas global di titik kritis," kata Singh seperti dikutip dari Anadolu Agency, Kamis (23/1/2025).

Ia memperingatkan ketiadaan kepemimpinan AS berisiko menghambat momentum aksi iklim global. “Hal ini dapat mendorong negara-negara lain untuk menunda transisi mereka dari bahan bakar fosil atau mengurangi komitmen iklim mereka, mengikis kepercayaan dan kerja sama dalam diplomasi internasional," tambahnya.

Hal serupa disampaikan peneliti di Pusat Kajian Lingkungan dan Masyarakat lembaga think-tank Chatham House, Chris Aylett. Ia mengatakan mundurnya AS dari perjanjian iklim terjadi di momen krusial upaya iklim global.

“Ini sama saja dengan AS, negara dengan tanggung jawab historis terbesar untuk perubahan iklim, mengangkat tangan dan mengatakan kepada seluruh dunia, 'Anda yang tangani'," katanya.

Menurut Aylett, langkah Trump akan mempermudah negara-negara lain untuk melemahkan komitmen iklim mereka di tahun mereka harus menyerahkan target dan tindakan pemangkasan emisi yang ditetapkan sendiri ke PBB.

Menurut peneliti dari Stockholm Environment Institute Richard Klien, keputusan Trump tidak hanya merusak upaya internasional tapi juga bertolak belakang dengan kepentingan rakyat AS. “Dia terus menyebut perubahan iklim sebagai hoaks, terlepas dari semua bukti dunia semakin hangat dan tahun lalu merupakan tahun terpanas sejak pengukuran dimulai,” kata Klein.

Ia mengungkapkan keputusan Trump sebagai kenyataan pahit dari ilmu pengetahuan iklim. Klein mengatakan bumi sudah 1,5 derajat Celsius lebih panas dari rata-rata masa pra-industri. “Perjanjian Paris bertujuan untuk menstabilkan iklim pada 2 derajat Celsius, jika memungkinkan, sedekat mungkin dengan 1,5 derajat di atas pemanasan industri," katanya.

Ia juga menekankan tindakan Trump menandakan pengabaian terhadap kerja sama internasional. “Dia telah membuat pernyataan yang sangat jelas dia tidak peduli dengan solidaritas internasional, yang merupakan dasar dari Perjanjian Paris. Ini adalah perjanjian yang berlaku untuk semua, di mana semua negara bertanggung jawab untuk mengurangi emisi mereka," kata Klein.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement