Kamis 30 Jan 2025 16:48 WIB

Transisi Energi Dunia Diyakini Tetap Berjalan Tanpa AS

Sebagian besar perekonomian terbesar di dunia berinvestasi pada pembangkit EBT.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Presiden Donald Trump memegang perintah eksekutif setelah menandatanganinya pada acara parade Pelantikan Presiden di Washington, Senin (20/1/2025) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Matt Rourke
Presiden Donald Trump memegang perintah eksekutif setelah menandatanganinya pada acara parade Pelantikan Presiden di Washington, Senin (20/1/2025) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris dan langkah Presiden Donald Trump membatalkan kebijakan iklim pendahulunya diyakini tidak akan menghentikan dunia bertransisi ke energi bersih. Trump dinilai lebih mengecualikan AS dari mendapatkan keuntungan dari ekonomi energi bersih.

Langkah Trump menarik AS dari Perjanjian Paris dan menghentikan pendanaan untuk proyek energi bersih, mengisolasi AS dari panggung internasional. Surat kabar New York Times melaporkan sebagian besar perekonomian besar di dunia berinvestasi pada pembangkit listrik EBT seperti tenaga angin dan surya yang semakin murah. Hal ini artinya AS berisiko menyerahkan pasar potensial ke Cina. New York Times mencontohkan Uni Eropa, Inggris, Thailand, Brasil hingga negara penghasil minyak Arab Saudi mulai berinvestasi ke ekonomi energi bersih.

Baca Juga

Surat kabar itu mengakui penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak, gas dan batu bara semakin meningkat dari tahun ke tahun. Namun, New York Times mencatat perekonomian-perekonomian di dunia berinvestasi ke energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga angin dan surya serta baterai yang semakin rendah harganya. Investasi energi terbarukan lebih tinggi hampir dua kali lipat dari bahan bakar fosil tahun lalu.

Perusahaan perusahaan bahan bakar fosil lebih banyak menyalurkan dividen ke pemegang saham dan melakukan buybacks dibandingkan membuka kilang atau pengembangan baru. "Dunia sedang melakukan transisi energi yang tidak bisa dihentikan," kata kepala badan iklim PBB Simon Stiell di World Economic Forum di Davos, Swiss pekan lalu.

Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia Celeste Saulo juga menyampaikan peran serupa di Davos. "Saya yakin banyak negara akan terus bergerak menuju energi hijau," katanya seperti dikutip Reuters.

Ia mengatakan, beralih ke energi bersih akan mendatangkan kekayaan bagi negara-negara dan hal itu tidak akan berubah. Trump mengancam negara-negara yang tidak ingin menghentikan upaya penanggulangan perubahan iklim dengan tindakan perdagangan atau berbagai bentuk aneksasi.

Namun beberapa targetnya mulai bersatu. Surat kabar Financial Times melaporkan Kanada dan Meksiko mengesampingkan perbedaan mereka dan membentuk front yang lebih bersatu untuk melawan ancaman Trump.

“Kegaduhan politik mungkin menyebabkan penundaan dan mengaburkan penilaian di Ottawa, tetapi warga Kanada mungkin akhirnya menyadari koordinasi yang lebih baik dengan Meksiko sangatlah penting,” kata Diego Marroquin Bitar, akademisi dari Wilson Center yang berbasis di Washington.

Kepala Dewan Rockefeller International Ruchir Sharma menulis Trump akan mendatangkan lebih banyak masalah ke AS. Selama pemerintahannya yang pertama Trump menjadikan "tarif perdagangan sebagai senjata" beberapa negara membalas, beberapa menawarkan konsesi sementara yang mengambil jalur hukum. "Namun sebagian besar hanya diam, dan melangkah pergi, berusaha berdagang dengan negara lain selain AS," kata Sharma.

Akibatnya, pangsa perdagangan AS di pasar global mengalami penurunan yang signifikan. Sementara itu, negara-negara di Asia, Eropa, dan Timur Tengah justru mengalami peningkatan dalam perdagangan mereka. Dalam konteks ini, penting untuk dicatat selama periode yang sama, empat dari lima negara di seluruh dunia mengalami peningkatan perdagangan sebagai bagian dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka, dengan lebih dari selusin negara mencatatkan kenaikan minimal 10 persen.

Namun, AS justru mengalami penurunan yang mencolok dalam pangsa perdagangan globalnya. Sharma, menjelaskan meskipun Trump percaya tarif akan mengembalikan kekuatan AS dan mendapatkan rasa hormat dari negara lain, kenyataannya adalah kebijakan tersebut lebih banyak merugikan AS sendiri.

Alih-alih merusak kekuatan ekonomi Cina, kebijakan tarif ini justru mendorong sekutu-sekutu AS untuk mencari alternatif perdagangan di luar Amerika. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement